News

Senin, 17 Desember 2018

4 Pengikat Ibadah


Agama sebagai sarana manusia untuk mencapai realitas Tuhan dengan kendaraan berupa ibadah senantiasa bergerak dalam dua ranah yang saling menguatkan—ideal dan real. Keduanya mutlak hadir karena laku ibadah adalah tindakan yang sarat makna dan terikat berbagai aturan tertentu; apabila salah satunya absen maka tindakan ibadah akan kehilangan esensinya sehingga ibadah bukan malah memperbaiki manusia namun malah merusak manusia entah secara sosial maupun individual. Namun jika keduanya hadir secara utuh dalam setiap laku ibadah yang dijalankan manusia, ibadah akan memberikan efek yang besar bagi manusia karena manusia dapat menemukan keterkaitan antara hati dan tindakanya secara umum sehingga eksistensi manusia menjadi optimal dan dia dapat hadir dalam pikiran maupun tidakan secara utuh.

Agama tidak pernah lepas dari iman yang mana dapat diterjemahkan sebagai kesadaran ilahiah akan dunia. Iman memerlukan hati yang peka yang berguna untuk merasakan alam dalam kerangka ilahiah. kesadaran ini lalu diperkuat dengan cara diwujudkan dalam tindakan nyata yang konsisten sehingga kehadiran Tuhan dapat terwujud secara eksternal maupun internal relatif terhadap manusia. Dari sini bisa dilihat bahwa iman tanpa tindakan akan menjadi kesadaran semata yang sifatnya hanya merupakan sesuatu yang ultraimajiner—iman yang bersifat abstrak tidak dapat sama sekali hadir di dunia karena terkungkung sebagai ide bukan semangat.
Memiliki iman yang mewujud dalam semangat dan ibadah merupakan keharusan karena cara untuk mewujudkan agama dalam dunia nyata adalah lewat ibadah. Ibadah (yang di dalamnya termasuk ritual) jika dilakukan tanpa semangat iman maka akan menjadi laku-laku yang mekanis saja yang hanya mewujudkan agama tanpa menghidupkan agama. Ketika agama hanya terwujud dalam usaha-usaha mekanis ini maka agama akan menjadi beban bukan penyelamat sehingga kedalaman jiwa yang berusaha diwujudkan agama menjadi hal yang jauh dan menjadi begitu abstrak. Lain halnya jika agama ternyata dapat hidup dalam keseharian manusia karena dengan hidupnya agama di dunia nyata maka misi agama untuk menjangkau kedalaman jiwa dapat diwujudkan. Realitas Tuhan yang imaterial dapat dijangkau karena hati telah menjadi cukup peka sehingga perkara-perkara abstrak dapat dirasakan begitu nyata. diri dapat bertindak di dunia dengan kesadaran penuh karena hati yang peka mampu membangun hubungan dengan alam nyata lewat kedalam makna tindak dapat disadari oleh hati keberadaanya.
Maka dari itu, semangat keimanan harus dimulai dengan kesadaran akan keadaan diri yang mencakup segala hal yang ada disekitar diri dan di dalam diri. Kedua kesadaran ini perlu dibangun agar diri benar-benar mengenal apa yang dimilikinya serta kondisi nyata lingkungan sekitarnya sehingga usaha penggalian jiwa yang hendak diwujudkan dapat menggunakan sumber daya yang ada bukanya sumber daya yang tidak ada; penggalian ini bersifat rasional bukan khayal karena bertumpu pada kenyataan yang dapat dijangkau. Kesadaran akan sumber daya yang terjangkau ini dapat melahirkan ketenangan pada diri lewat rasa syukur, lebih jauh, dapat menjadikan usaha penggalian jiwa sesuatu yang relatif ringan bagi diri.
Ketenangan dan rasionalitas akan menjadikan laku ibadah proporsional karena diri telah memiliki modal yang kuat untuk menjalankan ibadah yang baik dan benar. Jiwa sebagai titik sentral ritual perlu diarahkan secara mandiri karena tidak seperti indera yang dapat bekerja saat mendapat rangsangan dari luar diri meski tanpa campur tangan diri, jiwa perlu menciptakan realitasnya sendiri agar dapat bekerja dengan baik. Realitas ini hanya dapat terbentuk lewat ketenangan dan konsentrasi. Karena kecenderungan jiwa yang abstrak maka tanpa keduanya kondisi abstrak dalam jiwa akan sulit dikendalikan untuk membentuk berbagai realitas yang memiliki kesan setara dengan kondisi eksternal diri yang konkrit. Jika dipaksakan saja maka diri akan mengalami kelelahan bahkan hanya untuk menyusun realitas ini—belum sampai merasakanya yang mana lebih penting daripada menyusunnya saja.
Meskipun sangat internal dan personal, usaha ini tetap memerlukan unsur eksternal diri agar dapat terwujud dengan benar. Jika diri tidak sadar akan kondisi eksternal maka diri dapat terhisap ke dalam jiwa dan kehilangan koneksi dengan alam sehingga jiwa akan menarik diri dari alam nyata dan cenderung mengabaikan kehidupan nyata. Peran unsur eksternal di sini adalah menyediakan dukungan materil bagi diri agar usaha mengakses jiwa memiliki bentuk yang nyata. Kesadaran akan keberadaan komunitas sebagai pendukung sosial, teks suci sebagai penyedia doktrin dan batasan-batasan, serta kondisi biologis paling dasar dari tubuh diri akan akan amat sangat membantu diri dalam usaha penggalian jiwa karena kesadaran ini dapat memberikan diri gambaran tentang usaha nyata yang hendak diri lakukan.
Dalam usaha untuk mengenal diri tentu diri akan mendapati bahwa kondisi dari sumber daya yang dimilikinya beragam sehingga tidak semua sumber daya ini bisa begitu saja dimasukkan dalam skema penggalian jiwa berbentuk ritual. Bahkan sumber daya yang dianggap mumpuni untuk langsung digunakan dalam upaya penggalian jiwa ternyata masih belum optimal kondisi dan keberadaanya relatif terhadap laku ritual yang punya bentuk jelas. Variasi kondisi ini akan menuntut diri untuk memaksimalkan sumber daya yang ada agar laku ritual dapat benar-benar mengantar diri menuju kedalaman jiwa yang  tetap didasarkan pada sumber daya yang dimiliki sehingga usaha optimalisasi ini tidak spekulatif.
Spekulasi perlu dihindari karena hal ini sama saja dengan meninggalkan usaha kesadaran yang telah dibangun di awal karena diri tidak berusaha untuk menambah nilai guna dari sumber daya yang ada namun coba menambah sumber daya yang ada dengan mencoba-coba segala kemungkinan yang belum memiliki kejelasan yang pasti. Kondisi ini bisa menggeser fokus diri dari memahami jiwa yang internal menjadi usaha untuk terus-menerus mencari dan menghimpun sumber daya yang ada di luar diri sehingga kedalaman jiwa yang hendak diraih tidak segera terwujud.
Ini bukan berarti inovasi itu buruk. Dalam usaha optimalisasi ini, inovasi bukanlah suatu usaha menciptakan hal baru namun lebih merupakan usaha untuk adaptasi sumber daya yang ada terhadap kenyataan yang dihadapi diri yang mana dalam prosesnya sumber daya ideal (doktrin, tuntunan, dan segala hal terkait iman dan agama) akan berinteraksi dengan sumber daya real (tindakan, kondisi lingkungan, dan segala hal terkait kondisi nyata yang dihadapi diri). Bahkan ketiadaan inovasi yang berfokus pada sumber daya yang telah ada akan meniadakan dinamika internal diri yang mandiri sehingga diri akan mengalami kemandekan dan terpaksa mengikuti dinamika alam yang ekternal yang belum tentu sesuai dengan kondisi diri sehingga lagi-lagi fokus laku ritual akan bergeser dari kedalaman jiwa menjadi usaha pemenuhan hasrat diri yang berorientasi pada hal-hal eksternal.
Dinamika internal diri ini akan selalu berinteraksi dengan dinamika eksternal diri secara terus menerus dan seringkali ada persaingan antara keduanya yang mana diri selalu ada ditengah-tengahnya. Kondisi ini menjadikan adanya tarik ulur yang konstan antara yang internal dan yang eksternal sehingga  sedikit banyak diri akan menunjukkan kecenderungan pada hal eksternal atau internal. Kecenderungan ini bersifat unik dan seringkali punya sifat identitas sehingga setiap diri selalu punya kekhasan tersendiri terkait komposisi internal-eksternal ini.
Kecenderungan ini punya dampak tertentu dimana interaksi individu-individu dengan kecenderungan ini dapat memperkuat ritual yang dilakukan lewat kolaborasi. Dengan perbedaan ciri yang dimiliki individu maka sumber daya yang dimiliki masing-masing diri dapat dipertukarkan dengan diri lain, sehingga komunitas berbasis ritual dapat terbentuk secara organik. Keragaman dalam agama ini pada akhirnya akan menjadikan agama suatu inkubator toleransi karena keragaman tidak dipandang sebagai hal yang lain namun suatu jalan lain dalam usaha mencapai kedalam jiwa.
Di sisi lain, keragaman ini jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadikan terpecahnya komunitas karena perbedaan yang ada dapat pula meruncing menjadi perselisihan. Perbedaan sumber daya seringkali tercermin pada perbedaan laku ibadah yang jika tidak difahami dengan baik akan memunculkan rasa terasing. Lebih jauh rasa terasing ini dapat menggerakkan diri untuk memusuhi individu dengan perbedaan ini sehingga muncul arogansi pada ibadah. Ketika pada akhirnya ego (yang mewujud pada arogansi) mulai menguasai diri, ibadah bukan lagi usaha untuk mencapai kedalam jiwa tapi menjadi perlombaan dengan standar yang ditetapkan oleh manusia bukan Tuhan.
Dalam kondisi tarik ulur ini pula diri sangat rawan tersedot pada salah satu ekstrim yang ada sehingga unsur dari keduanya tidak bisa secara proporsional dihadirkan. Ketika diri gagal hadir dalam keduanya maka diri akan memandang kutub lain yang tidak didiaminya sebagai sesuatu yang absurd dan abstrak—padahal dalam laku ritual keduanya harus ada. Oleh karenanya, dalam keadaan ini diri harus melakukan usaha penyadaran reflektif dan optimalisasi sumber daya secara terus menerus sebagai usaha untuk mengimbangi dialektika (pertentangan) internal-eksternal yang juga terjadi secara terus menerus. Dalam usaha yang kontinu ini segala daya dan upaya perlu dilakukan oleh diri untuk hadir secara internal dan eksternal yang mana usaha ini perlu memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki dan terus disadari kondisinya oleh diri. Dalam keadaan ini, diri berusaha untuk tetap ada pada kondisi seimbang (yang mana sulit diwujudkan) relatif pada kondisi dan kenyataan yang dihadapi diri demi terwujudnya laku ritual yang proporsional.
Usaha yang terus menerus sebenarnya bukanlah karakter dari diri. Keinginan untuk berhenti pasti ada dan keinginan ini alami—tidak ada yang bermasalah dalam keinginan ini. Masalah baru akan muncul ketika diri ternyata tidak mampu kembali pada kondisi dinamis setelah singgah pada kondisi statis karena sekali lagi, kemadekan diri pada salah satu ranah (eksternal atau internal) akan menjadikan diri terhisap pada salah satu ekstrim yang ada.
Kegagalan untuk berpindah dari kondisi statis dan dinamis ini seringkali mematikan laku ibadah secara perlahan karena diri tidak memandang ada yang salah dalam laku istirahat ini. Rasa puas merupakan penyebab wajar dari keadaan ini karena ada dukungan yang diterima dari dalam diri dan komunitas di sekitar diri. Kombinasi dari keduanya adalah pemicu yang efektif untuk mematikan usaha terus menerus yang telah dibangun oleh diri dan ketika usaha terus menerus ini ternyata telah hilang maka kepuasan ini juga menjaga diri agar tidak lagi masuk pada kondisi dinamis—suatu keadaan yang secara total menahan diri untuk masuk pada usaha penyadaran reflektif, optimalisasi, dan usaha kontinu.
Maka untuk mencegah diri terjebak dalam kondisi ini, diri perlu melakukan suatu usaha untuk memelihara semangat iman dan kepekaan jiwa yang telah dibangun dari awal. Usaha ini harus punya sifat personal karena laku ritual ada kalanya tidak melibatkan orang lain sehingga mengandalkan dukungan komunitas semata adalah tindakan yang kurang tepat. Tindakan ini juga harus dapat dengan mudah dilakukan diri lebih mudah daripada laku ritual pada umumnya sehingga pada kondisi istirahat sekalipun usaha penjagaan ini dapat dilakukan.
Dari kriteria ini maka doa adalah usaha yang bisa dikatakan tepat. Baik secara ideal maupun real doa punya sifat yang relatif lebih sederhana daripada laku ibadah yang lain. Doa dapat dilakukan hanya dengan diucapkan tanpa melakukan apapun sehingga doa dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Selain itu doa dapat dilakukan sambil mengerjakan hal lain sehingga tidak akan mengganggu tindakan lain. Kombinasi ini menjadikan doa sesuatu yang relatif praktis; doa dapat juga dilakukan sebagai selingan pada massa istirahat sehingga diri akan selalu ingat bahwa diri masih memerluklan ibadah dan punya cita-cita yang ingin diwujudkan.
Ada sifat timbal balik antara laku ibadah dan doa dimana kedalam hati yang telah diperoleh dalam laku ibadah dapat menjadikan doa suatu usaha yang sangat reflektif. Dalam doa bisa disispkan harapan agar ibadah jadi lebih baik serta sarana pengakuan akan kesalahan-kesalahan yang dilakukan diri, baik di dalam laku ibadah maupun yang dilakukan sehari-hari. Kedua kondisi ini akan menjadikan doa suatu tindakan yang sarat arti dan fungsi: ia dapat menjadi jembatan di sela-sela istirahat diri serta sarana evaluasi diri akan tindakan sehari-hari yang dilakukan diri.
Keempat hal ini—kesadaran reflektif diri, optimalisasi, kontinuitas tindakan, dan doa—jika dilakukan terus menerus akan menjadikan laku ibadah suatu tindakan yang membebaskan bukan membebani. Ibadah adalah suatu usaha latihan yang tidak hanya mengasah fisik tapi juga hati sehingga diri secara total akan terasah. Keterlibatan diri selama ibadah secara intens secara lahir batin perlahan akan menjadikan diri mengalami perubahan pada arah yang lebih baik, karena ini dapat menciptakan kaitan antara tindakan dan pikiran. Ketertakiatan ini akan melahirkan kesadaran total akan realitas dan rasa hadir yang ilahiah pada manusia yang mana akan menjadikan manusia mahluk yang utuh.
Jika misalnya keempat usaha ini tidak hadir secara optimal maka ibadah tidak bisa membebaskan manusia dan malah menawan manusia dalam penjara bernama ritual. Asketisme (usaha menjauh dari kehidupan) yang lumrah pada ritual ibadah tidak menjadi sesutau yang reflektif dan mencerahkan tapi malah menjadi beban bagi diri yang memenjara manusia pada kegelapan yang dapat menyesatkan mereka di dunia. Pada akhirnya manusia akan gagal hadir secara utuh sehingga realitas real maupun ideal sulit dijangkau—akhirnya diri gagal untuk hadir secara utuh dan merasa asing pada salah satu realitas.
Ketika usaha-usaha ini telah dikenal akrab oleh diri maka diri akan secara otomatis memasukkan skema ini pada kehidupan sehari-hari. Karena keempat hal ini sebenarnya adalah usaha untuk mengaitkan ide dengan kenyataan maka tidak hanya ritual yang dapat dijalankan dengan skema ini namun hampir semua hal dapat dilakukan dengan langkah-langkah ini. Ketika kehidupan sehari-hari dan tindakan rutin dapat didapatkan kaitannya dengan ide yang dianut diri maka tindakan manusia menjadi lebih bermakna dan kehidupan menjadi sesuatu yang tertanggungkan—bukan memberatkan.

tulisan ini juga dimuat di blog penulis 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.