Pada berbagai institusi pendidikan, kegiatan orientasi adalah kegiatan yang jamak dilakukan. Pada umumnya, acara ini punya tujuan untuk memberikan informasi dasar pada para anggota baru tentang intitusi tempat mereka belajar. Namun sering kali acara ini juga diisi kegiatan penanaman nilai-nilai yang diyakini penting dalam tubuh institusi tersebut. Dalam praktiknya, proporsi antara pemberian informasi dan penanaman nilai seringkali tidak berimbang. sosialisasi nilai biasanya hanya sekadarnya saja dan terkesan formalitas sebagai syarat dari kegiatan orientasi ini. Di sisi lain, kegiatan penanaman nilai biasanya begitu dominan dan cenderung prestisius. akibatnya seringkali informasi terkait institusi kurang difahami namun budaya doktrinasi nilai jadi begitu kuat—yang dalam beberapa kasus nilai ini jadi dogmatik.
Jika ditarik dalam konteks Pondok Pesantren Mahasiswa (selanjutnya disbut PPM), maka kegiatan PSB (penerimaan santri baru) sering kali tereduksi menjadi kegiatan wawancara dan penutupan PSB saja. meski sebenarnya ada kegiatan lain seperti pengenalan sie kepengurusan santri, pembukaan PSB, kumpul PSB, atau kegiatan lain (jujur penulis tidak pernah mengikuti kegiatan PSB) namun kegiatan wawancara selalu saja menyita cukup banyak perhatian. Pada kegiatan wawancara ini, santri baru diharuskan menghubungi santri lama untuk melakukan kegiatan "wawancara" yang diisi pertanyaan terkait identitas serta pertanyaan terkait nasihat dan wejangan. Harapan dari kegiatan wawancara ini adalah, santri baru dapat lebih mengenal santri lama serta santri lama diharapkan dapat memberikan nasihat pada santri baru terkait kehidupan di PPM.
Kegiatan lain yang dirasa cukup penting juga adalah penutupan PSB. Pada kegiatan ini, ada penyerahan jas alamamater PPM serta evaluasi besar atas kegiatan PSB. Acara ini juga diikuti semua santri. Pada acara ini, santri lama akan melakukan kegiatan evaluasi pada santri baru yang meliputi koreksi pada keseharian mereka, solidaritas mereka, dan hal-hal lain yang dipandang kurang tepat dalam masa-masa awal mereka di PPM.
Nuansa penanaman nilai cukup kental pada dua kegiatan ini yang mana juga menyita cukup banyak perhatian baik dalam segi waktu maupun tenaga. Tidak heran jika pada akhirnya kegiatan PSB mengalami reduksi makna menjadi sekedar acara "wawancara santri baru ke santri lama". Reduksi ini problematis (mengandung masalah) karena dalam praktiknya baik di pihak santri baru maupun santri lama banyak ditemui kejanggalan. Seringkali santri baru tidak berkumpul dan mendengarkan nasihat dari santri lama dan sekedar memberikan buku yang sudah terisi komplit untuk ditandatangani olah santri lama—dan hal ini kadang memang diminta oleh santri lama yang bersangkutan. atau ada juga santri lama yang meminta agar sesi wawancara dilakukan dengan beberapa santri baru saja dan sisanya bisa sekedar menulis apa yang telah ditulis oleh perwakilan santri yang melakukan wawancara ini.
Meski tidak semua santri baru dan lama melakukan tindakan ini, namun adanya kenyataan ini tetap saja memilki masalah. Ketiadaan tatap muka menjadikan sesi wawancara tidak lebih dari upaya mengisi buku PSB alih-alih bentuk interaksi organik antar generasi. belum lagi pesan yang disampaikan dalam sesi nasihat seringkali cenderung mengulang-ngulang saja dan bisa ditebak bentuknya; tentu ini secara tidak langsung mematikan daya kritis dan nalar yang dimiliki oleh santri.
Sementara itu, sudah jadi rahasia umum kalau acara penutupan PSB penuh dengan "skenario". Baik santri lama maupun santri baru telah menyadari hal ini sehingga dalam praktiknya tidak ada dialektika yang benar-benar terjadi—semua hanya usaha memenuhi kepatutan dalam laku evaluasi yang melibatkan senior dan junior. kombinasi dari wawancara yang berorientasi pada memenuhi buku PSB serta kegiatan diskusi yang semu pada akhirnya membuat penulis ragu dan sampai pada pertanyaan: nilai apa yang hendak ditanamkan pada santri baru?
Tulisan ini tidak hanya ingin mengkritisi model orientasi konvensional ini, namun juga menawarkan model orientasi yang lain. Dalam model orientasi yang baru ini, yang dikepedankan bukanlah penanaman nilai semata namun usaha untuk memberikan gambaran akan apa yang seharusnya lulusan PPM lakukan yakni memberikan kontribusi langsung pada umat. Kontribusi yang diberikan oleh lulusan PPM tentunya harus ilmiah namun tetap religius yakni memliki dasar yang empirik (berdasarkan kenyataan) serta ilmiah (dapat diterima akal), serta keduanya tetap berlandaskan nilai-nilai religius agama Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist—suatu bentu implementasi dari slogan profesional religius.
Untuk mewujukdan tujuan itu, maka kegiatan PSB diarahkan pada tiga nilai utama yaitu intelektualitas, kesetaraan antar generasi (angkatan), serta keberlanjutan. Intelektualitas diwujudkan dengan kerja ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan dasar yang rasional dan empirik. objek dari kerja ilmiah ini adalah masalah yang ada pada keseharian PPM: ketertiban kegiatan pondok dan ibadah, aturan-aturan yang ada di PPM, interaksi antar elemen PPM, atau masalah lain. masalah ini dikaji dengan metode ilmiah yang mana sepenuhnya dikerjakan oleh santri baru. Santri lama dalam hal ini menjadi pengawas sekaligus objek kajian dan panitia PSB menjadi pembimbing kerja ilmiah. Hasil dari penelitian ini secara rutin dikontrol pada acara kumpul PSB dan buku PSB bisa dijadikan buku penelitian yang isinya bisa meliputi: data lapangan, wawancara dengan berbagai pihak (santri lama, pengurus, dewan guru), serta notulensi diskusi.
Kesetaraan dapat dimunculkan dalam bentuk posisi santri lama dan santri baru yang sama dihadapan aturan pondok dan Al-Quran serta Al-Hadist. Dari keseteraan ini diharapkan dapat ditumbuhkan budaya kritik karena setiap orang ada pada derajat yang sama. Tantangan yang muncul di sini adalah bagaimana membungkus kritik agar tetap etis sehingga tidak menabrak norma yang sudah ada. Setelah kritik dapat ditimbulkan maka diharapkan pula adanya kolaborasi positif antara santri lama dan santri baru. Pada akhirnya, akan timbul solidaritas yang organik namun sehat karena solidaritas masih bisa menghormati aturan yang ada—bukan malah membuka peluang pelanggaran aturan.
Keberlanjutan adalah nilai yang merupakan hasil akhir dari intelektualitas dan kesetaraan. Hasil kajian yang telah disusun oleh para santri baru akan dikritisi oleh segenap santri pada penutupan PSB yang mana harus diusahakan tetap menjunjung tinggi kesetaraan dan rasionalitas. Hasil dari "diskusi terbuka" ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun regulasi pada formasi kepengurusan santri periode selanjutnya. karena santri baru akan turut andil dalam kepengurusan santri, maka implementasi dari dari hasil kajian akan lebih mudah. Selain itu, kesetaraan yang ada juga diharapkan dapat merangsang kritik yang etis untuk menjaga agar aturan yang ada tetap relevan dan bermanfaat.
Jika nilai-nilai dalam kegiatan PSB ini dapat dijaga terus bahkan sampai santri lulus dari PPM, bukan tidak mungkin PPM benar-benar dapat menghasilkan mubaligh yang—meminjam istilah antonio gramsci—intelektual organik, yaitu seorang inteletual yang bukan hanya fasih menguraikan masalah dan fenomena yang ada pada masyarakat namun juga mampu menggerakkan massa demi terwujudnya kebaikan bersama.
Pada akhirnya tulisan ini tidak hanya bertujuan memberikan perspektif baru saja, tapi lebih jauh tulisan ini berusaha membuka ruang diskusi terkait cara untuk melakukan regenerasi yang baik dan secara nyata memberikan manfaat. Tentunya, dengan munculnya perbincangan publik terkait isu yang memang penting untuk suatu komunitas diharapkan partisipasi dan kolaborasi dapat terwujud dalam komunitas tersebut. Apalagi sebagai seorang calon intelektual organik, santri PPM haruslah mampu mengelola masalah dan menciptakan solusi dari masalah tersebut.
penulis nya belum ikutan PSB??
BalasHapus