Doa merupakan bagian penting dari agama.
Doa merupakan sarana paling mudah bagi manusia untuk berhubungan dengan Tuhan
karena itu menyangkut perasaan manusia secara
langsung—keinginan dan harapan manusia. Kenyataan ini menjadikan doa mempunyai
sifat ganda; doa itu manusiawi karena ada campur tangan manusia di dalamnya namun doa juga ilahiah karena Tuhan
pasti terlibat di dalamnya. Keterlibatan dua pihak secara aktif dalam doa
menjadikan doa bersifat polemis sekali. Ada anggapan bahwa doa itu tidak masuk akal karena membuat
manusia berpikir telah melakukan sesuatu padahal kenyataanya hanya diam saja,
ada yang merasa segan untuk
berdoa karena melihat dirinya tidak pantas di hadapan Tuhan, ada juga yang melihat doa
sebagai jalan terakhir dalam
menghadapi masalah dalam kehidupan. Semua masalah ini
tidak membuat doa sesuatu yang buruk, bahkan dengan keberadaan semua sifat itu
doa menjadi makin menarik untuk
dibicarakan—dan pada akhirnya dijalankan atau ditinggalkan.
Doa bersifat sangat personal
karena memilki berbagai varian
relatif terhadap individu. Ia datang dari kegelisahan
manusia akan kehidupan yang tidak menyenangkan atau bisa juga dari harapan
manusia yang terasa jauh dari jangkauan manusia tersebut. Pada aktivitas doa, manusia
menghubungi Tuhan untuk meminta agar Tuhan melakukan apa yang dia inginkan; doa
merupakan usaha manusia untuk memanfaatkan kekuasaan Tuhan demi tujuan-tujuan yang ingin dia
wujudkan, apapun itu bentuknya. Dengan
demikian, doa mengandung harapan yang spesifik relatif terhadap manusia
sehingga manusia punya tolak ukur yang jelas terhadap doa.
Keadaan ini menjadikan doa
suatu ibadah yang yang bisa dikatakan ambisius dan punya peluang egois yang
besar. Saat manusia berdoa tentu manusia itu mengetahui betul apa yang dia inginkan dari doa
itu dan akan senantiasa memperhatikan prosesnya. Lebih jauh, sebelum berdoa manusia akan
melakukan beberapa pertimbangan agar keinginannya dapat
terwujud atau setidaknya lebih
mungkin terwujud. Yang perlu diperhatikan di sini adalah,
seringkali persepsi manusia akan doa sangat manusiawi sehingga kadang melupakan keberadaan pihak lain yang terlibat dalam doa—Tuhan.
Jika kita telusuri dari
awal sekali (proses pra-doa) manusia akan melihat dirinya sendiri dahulu yaitu apakah dia
cukup pantas untuk berdoa. Kepantasan ini berkisar pada pertanyaan dan renungan apakah diri manusia itu cukup
baik di mata Tuhan. Jika pada akhirnya renungan ini berujung pada jawaban bahwa
dirinya cukup baik atau
cukup suci maka manusia akan melakukan doa tanpa segan dan dengan semangat
tinggi. Namun jika keadaan sebaliknya yang muncul maka manusia akan berdoa
dengan penuh keraguan dan keengganan. Mereka merasa doa tidak ada gunanya karena energi yang
digunakan dalam doa dirasa tidak punya kepastian apa-apa. Keburukan diri
menjadikan Tuhan enggan melihat dirinya sehingga peluang terkabulnya doa
menjadi kecil dan energi serta waktu yang dihabiskan dalam doa bisa berujung
pada kesia-siaan.
Jika pada tahap pra-doa kita lihat bahwa pertimbangan manusia terkait
doa cenderung reflektif (punya sifat koreksi diri dan instrospektif) maka
setelah doa dipanjatkan manusia memiliki pertimbangan lain yang asosiatif
(melihat kondisi di luar diri berdasarkan pengetahuan diri) yakni bagaimana doa yang dipanjatkan dikabulkan. Pertimbangan
ini merupakan pengembangan dari pertimbangan pra-doa dimana segala harapan yang
diutarakan selama doa serta bekal kepercayaan diri pada masa pra-doa dihitung
dan ditimbang demi memperoleh gambaran konkret atas hasil doa yang dipanjatkan.
Dengan kata lain, pada tahap ini manusia mencoba melakukan perhitungan
kemungkinan bagaimana doa itu terwujud. Manusia memiliki harapan yang lebih tinggi akan terwujudnya harapan karena merasa telah melakukan aktivitas doa yang melibatkan Tuhan yang
maha kuasa (dan alam tentu tunduk pada kekuasaan Tuhan). Manusia yakin bahwa
usahanya tidak akan gagal karena Tuhan ada di sisi mereka dan kegagalan adalah
sesuatu yang sangat kecil bahkan mustahil karena Tuhan yang maha kuasa telah
mereka minta untuk mempermudah urusan mereka.
Ada satu proses lagi yang belum dibicarakan disini yakni proses doa,
namun kualitas dari proses doa sebenarnya dipengaruhi oleh dua kondisi ini
(pra-doa dan paska-doa) sehingga membicarakan keduanya terlebih dahulu akan
memudahkan kita bicara bagaimana doa itu dipanjatkan oleh manusia.
Sejauh ini kita telah melihat betapa proses doa sebagai suatu proses
yang manusiawi seakan kita tengah meminta pada manusia. Kita melihat Tuhan
sebagaimana manusia dengan cara meletakkan pertimbangan kita yang terbatas
pada-Nya.
Kita mulai dari proses pra-doa yang sejauh ini kita lihat sangat terpaku pada
penilaian diri manusia semata. Koreksi diri memang penting sebelum doa karena
hal ini dapat membangkitkan semangat memperbaiki diri sebelum memanjatkan doa.
Namun tidak jarang juga kondisi ini malah menghambat manusia untuk berdoa
karena manusia terkesan menunggu diri menjadi baik dulu agar pantas berdoa; manusia merasa
penilaianya akan dirinya itu setara dengan penilaian Tuhan akan dirinya. Atau
pada kasus lain manusia akan memperbaiki diri hanya jika manusia ingin berdoa
dan setelah itu manusia akan kembali pada kondisi awalnya setelah doa itu
terwujud.
Kemudian pada proses
paska-doa manusia punya ekspektasi bahwa doanya terwujud karena dirinya telah
berbuat baik menurut ukurannya sendiri. Keterwujudan doa ini diukur secara
manusiawi juga karena didasarkan pada apa yang telah manusia itu utarakan saat
berdoa. Manusia merasa doanya terwujud jika dia mendapatkan apa yang dia
utarakan selama proses doa dan jika tidak demikian maka manusia akan
menolak—entah menunjukkan gejala protes atau mereka tidak bisa begitu saja menerima
kenyataan yang ada. Manusia mencoba mematok doa dengan kualitas keduniawian yang materil padahal Tuhan bekerja
pada ranah imateril yang tidak melulu terikat dengan dunia dan isinya.
Dengan perspektif yang egoistis ini, maka doa jadi kehilangan fungsi
tersiratnya yakni sebagai usaha yang sifatnya ilahiah. Kita melihat doa sebagai
usaha yang kental sekali dengan nuansa transaski dengan Tuhan. Kita melihat
Tuhan bukan sebagai rekanan tapi sebagai penyedia sumber daya yang bisa kita
hitung sehingga kita mampu memperkirakan apa yang kita dapat dari doa. Kita
merasa bahwa Tuhan mau berada di pihak manusia hanya karena manusia telah
berbuat menurut pandangannya dan setelahnya manusia merasa berhak menentukan
hasil dari doa berdasarkan keinginannya saja.
Padahal jika manusia mampu
melihat sifat Tuhan yang misterius dan immaterial, maka manusia bisa melihat
sebenarnya doa yang dia panjatkan adalah proses kreatif yang harus dipelihara
oleh kedua belah pihak. Karakter Tuhan yang misterius memang bisa membuat doa
nampak suram; doa adalah usaha meminta pada
pihak yang tidak dikenal secara utuh sehingga tidak ada jaminan apa-apa pada
doa yang diutarakan. Namun di sisi lain, hal ini bisa menjadikan doa sesuatu yang
inovatif. Perbedaan karakter Tuhan dan manusia menjadikan manusia tidak bisa
serta merta mengandalkan doa sebagai solusi akhir karena manusia tidak bisa
sepenuhnya berharap pada Tuhan akan memberikan sesuatu yang secara material
sama persis dengan apa yang dia minta. Manusia harus memperjuangkan doa yang
dia utarakan pada Tuhan di kehidupan sehari-hari karena Tuhan tidak beriteraksi
dengan alam material secara langsung (padahal permintaan manusia dalam doa
sangat material).
Pada proses pra-doa,
manusia hendaknya tidak tertahan pada kesadaran bahwa dirinya buruk. Apa yang
menurut manusia buruk tidak serta merta buruk juga bagi Tuhan maka berdoa
sebelum menjadi baik itu masuk akal. Dalam kerangka ini, bukan tindakan yang
mempengaruhi doa melainkan sebaliknya yakni doa yang mempengaruhi tindakan.
Dengan keberanian manusia berdoa memohon sesuatu, maka manusia punya keyakinan
bahwa hal itu akan terwujud suatu hari nanti sehingga semakin sering manusia
mengutarakan doa itu, manusia akan semakin yakin bahwa apa yang dia minta akan
terwujud. Keyakinan ini tidak boleh di hentikan sebatas pikiran saja tapi juga
perlu diusahakan sebaik mungkin lewat tindakan konkret. Tindakan yang terus
menerus akan memiliki arti karena manusia senantiasa ingat bahwa tindakan yang
dia lakukan akan mengantarnya menuju tujuan yang lebih besar—yang
mana proses mengingat ini dapat dilakukan lewat doa.
Kemudian pada proses
paska-doa, kesadaran bahwa Tuhan itu tidak bergerak pada alam material secara
langsung menjadikan manusia sadar bahwa permintaanya yang sarat akan unsur
material tidak bisa semata-mata diwujudkan Tuhan dalam bentuk material yang
konkret. Lagi-lagi, perlu ada usaha dari
manusia untuk menjadikan doa itu terwujud secara konkret lewat kerja nyata di
dunia karena bagaimanapun juga manusia adalah pihak yang hadir di alam material
sehingga hanya dirinya yang mampu melakukan manipulasi terhadap alam nyata
secara langsung. Tuhan tidak lantas dilupakan
di sini karena kehadiran Tuhan yang bersifat imaterial ditambah keyakinan ada
campur tangan Tuhan (yang muncul lewat aktivitas doa) menjadikan hasil apapun
dari kerja dan doa yang dilakukan selalu punya makna yang lebih berarti. Tuhan
memang tidak mewujudkan harapan dalam doa secara langsung namun apa yang Tuhan
hadirkan dalam usaha pemenuhan harapan
dalam doa adalah semangat dan makna dalam proses terwujudnya harapan. Unsur-unsur ini, yang
sifatnya imaterial seperti Tuhan serta tidak konkret, memiliki ikatan yang
longgar dengan materi hasil kerja namun terhubung jelas dengan doa sehingga
diri mampu menangkap makna dan nilai dari hasil apapun yang didapat—pada
akhirnya penolakan dapat ditekan bahkan dihindari sehingga ada kepuasan yang
didapat oleh diri.
Sampai di sini aktivitas
memanjatkan doa bisa mulai dibicarakan karena posisi Tuhan dan manusia telah
jelas dalam dua tahap doa (pra-doa dan paska-doa). Kesadaran ini akan amat
membantu dalam menyusun kerangka berpikir tentang bagaimana doa itu
dipanjatkan. Telah di ketahui bahwa ada dua model yang dibicarakan di atas yakni model
egoistis yang sangat manusiawi dan model alternatif yang mempertimbangkan peran
kedua belah pihak. Pada model egoistis, doa akan dipanjatkan dengan penuh emosi
dan hasrat untuk merasakan terkabulnya doa secara utuh. Maksudnya, doa yang
dipanjatkan akan kental dengan harapan manusia yang terikat ruang dan waktu.
Doa dijadikan suatu aktivitas praktis yang tidak sakral ataupun mendalam karena
kita merasa kita pantas berhadapan dengan Tuhan begitu saja dan saat itu saja.
Kepraktisan dalam doa menjadikan aktivitas doa kehilangan fungsi mengingatkan
pada harapan dan berubah jadi suatu bentuk jalan lain untuk mewujudkan harapan
yang bahkan terpisah dari kerja. Tidak ada kesan emosional dalam doa yang dapat memacu diri
manusia melakukan usaha lebih baik sehingga tidak ada perubahan nyata dalam
laku keseharian manusia meski telah melakukan doa tiap hari.
Namun pada model alternatif
manusia sadar bahwa siapa yang dihadapinya dalam doa adalah Tuhan yang
misterius. Manusia berdoa dengan harapan Tuhan akan membantunya dalam kerja mewujudkan harapannya
bukan Tuhan memberikan hadiah berupa terwujudnya doa karena dia telah berdoa. Manusia
akan melihat doa sebagai suatu usaha yang menyatu dengan kerja sehingga baginya berdoa bukan jalan
terakhir melainkan bagian lain dari usaha yang lebih besar. Aktivitas doa merupakan kegiatan yang emosional dan dapat
mengusik jiwa agar jiwa dapat berubah mendukung kerja mewujudkan harapan diri.
Perubahan dalam jiwa lambat laun akan menjadi semangat yang kuat yang terus ada
dalam kerja apapun yang dilakukan diri sehingga apapun hasil kerja yang
diperoleh akan selalu punya kaitan dengan doa yang dipanjatkan—dan Tuhan juga
sebagai pusat dari semangat ini.
Doa yang tidak emosional
dan terpisah dari kerja bukanlah doa yang baik karena fungsi tersirat dari doa
jadi hilang. Doa punya fungsi alternatif selain sarana meminta pada Tuhan yakni
sebagai sarana melatih diri menjaga kepekaan hati dan memelihara arti dari tindakan. Doa yang
bermakna adalah doa yang
dipanjatkan dengan dengan melibatkan emosi sehingga kepekaan perasaan tentu
diperlukan di sini. Kepekaan perasaan yang terus menerus di gunakan dalam doa
pada akhirnya akan ikut terbawa dalam keseharian sehingga diri tidak melulu
menjadi pribadi yang mekanis. Ada emosi yang menyertainya dalam kehidupan
sehari-hari sehingga fenomena alam tidak hanya dipandang sebagai peristiwa acak
yang lepas dari kehidupan manusia. Pada akhirnya diri akan mampu merasakan bahwa kehidupan ini tidak
sia-sia dengan kata lain diri mampu mencari makna dari fenomena alam—pada
akhirnya diri jadi mampu mencapai pengalaman akan Tuhan dalam kehidupan
sehari-hari.
Makna dalam fenomena sehari-hari juga akan mempengaruhi kerja yang
dilakukan diri dimana pengalaman menemukan makna dalam berbagai fenomena
tersebut akan mampu memberi bekal bagi diri untuk memaknai tindakan yang dia
lakukan. Makna ini menjadikan tindakan lebih berarti sehingga diri mampu meraih
ikatan yang dalam dengan tindakan yang dia lakukan dan tidak sekedar memenuhi
kewajiban maupun pola yang yang berkembang di lingkunganya. Kondisi ini
menjadikan diri mampu berekspresi secara penuh dalam tindakannya sehingga dia mampu meningkatkan
kualitas kerjanya dan menjadi lebih produktif dan inovatif.
Ketika manusia telah
menemukan makna dalam tindakan maupun fenomena yang dia alami dan mampu menjaga
konsistensinya dengan usaha berupa doa, maka manusia akan mulai dapat
melepaskan ikatan dirinya dengan perkara material. Namun kegiatan ini tidak
menjadikan manusia lepas sama sekali juga dari kehidupan karena bagaimanapun
juga dalam memenuhi harapannya, manusia akan memanjatkan doa dan diiringi kerja
aktif mewujudkan harapannya di alam material. Jika kesadaran yang mewujud dalam tindakan ini senantiasa muncul secara konsisten maka dengan menjaga komposisi
antara doa dan kerja manusia akan mampu menempati posisinya yang berada diantara alam material dan alam
imaterial. Keberadaan manusia pada posisi ini merupakan keuntungan tersendiri
karena manusia memiliki eksistensi ganda yang mana keduanya bisa saling
mempengaruhi dan memperkuat.
Penulis: Subhan Rahman Prabowo.
Editor: Andik Kurniawan Santoso.
Editor: Andik Kurniawan Santoso.
Tulisan ini juga dimuat di blog
penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.