News

Kamis, 27 Desember 2018

Ibu



Baru sekarang terasa ada ‘sesuatu’ kepada Ibuku. Saya perhatikan seolah kami berdua berlomba berbuat kebaikan. Ketika saya berbuat satu kebaikan, Ibu malah lebih baik lagi kepadaku, dengan berpuluh-puluh kebaikan. Sikapnya melebihi seperti kepada bukan anaknya. Hingga akhirnya saya merasa kalah; kapan saya bisa membalas kebaikannya, kalau terus-menerus Ibu selalu berbuat baik dan baik kepadaku? Padahal seharusnya sayalah yang paling berkewajiban untuk melakukan itu semua – birrul walidain. 
Ketika pulang kampung, selalu saja Ibu menyediakan makanan enak kesukaanku waktu kecil. Bubur Sruntul dan Tempe Goreng selalu disediakan. “ Ini untukmu,” katanya. Harusnya sekarang waktukulah untuk menyediakan makanan yang sehat buat Ibuku. Kala dia butuh asupan untuk memelihara kebugaran tubuhnya yang sudah renta. Tapi ini malah sebaliknya. Ketika saya tolak, dengan lembutnya ia menjawab; “Ibu senang, kamu sudah bantu Ibu selama ini. Dan ini sedikit yang bisa Ibu berikan. Makanlah.”  Aku pun terkesima, harus bagaimana lagi selain menerima dan mensyukurinya. Rasanya seperti mitra dagang. Jauh di relung hati, tertambat nelangsa, apalagi kalau mengilas balik kisah – kisah istimewa akan hal ini. Masih terngiang di dalam ingatan, kalau Ibu suka memberikan bagian-bagain makanan yang terenak kepada anaknya, untuk menghindari rebutan dan keributan.  Dan sebenarnnya Ibu pasti menginginkan makanan enak itu, tapi ia mengalah. Rela berbagi dan memilih makan makanan sisa yang ditolak anak-anaknya. Bahkan, makanan yang tidak enak pun dia bilang enak, sangat eunak, agar anaknya mau memakannya, mencontohnya.  Ohh, Ibu..! I missed U.

Dan ketika di ujung telepon engkau bertanya; “Gak ada rencana pulang?” Berarti itu sebenarnya perintah untuk pulang. Sayang aku selalu beralasan dengan kesibukan-kesibukan, acara demi acara dan pertemuan ke pertemuan sehingga engkau pun ‘sepertinya’ mafhum adanya. Padahal buat Ibu itu hal sederhana; bertemu dengan wajah anaknya dan cucu-cucunya. Namun justru sekarang berhadapan dengan wajah-wajah kesibukan, topeng-topeng acara, dan rupa-rupa kuliah yang abstrak buatnya. Namun, ia mencoba memahami zaman dan segala rupa dinamikanya. Betapa bersalahnya aku, tidak menjawab panggilan itu dengan tepat. Malah, aku hanya minta doa agar semua diberi kelancaran dan kebarokahan.
Bahkan, kala mendengar kabar sakit Ibupun, masih terus sibuk dengan urusan kuliah dan kuliah. Seraya dengan mudah bibir ini berkata;”Sudah dibawa ke dokter kan? Ke rumah sakit saja?” Duh, anak macam apa aku ini. Begitu ringannya berkata seperti itu, hanya alasan jarak dan waktu. Dan diri ini tersiksa karenanya. Ibu, berikan aku kesempatan untuk menjagamu. Maafkanlah anakmu.

Di dalam bebal memori otak anakmu ini, masih terngiang keinginan-keinginan Ibu. Walau itu datang samar dan sendu, deburnya masih jauh belum berlalu. Terekam nian dalam kalbu. Terngiang kencang di telingaku. Aku bisa merasakannya, namun tidak semua bisa aku penuhi. Walau sudah beribu kali aku mohon pertolongan Ilahi Robbi dan usaha kanan-kiri. Semoga cukup waktu untuk semua itu. Dan kemampuan ada bersamaku. Banyak yang bisa aku berikan, sebenarnya, tetapi aku belum bisa melakukannya. Jiwa ini masih berhitung dengan prioritas-prioritas yang bahkan dibuat-buat, hingga mengalahkan prioritas Ibu. Oh, betapa bodohnya aku.

Dalam hening malam bisu, dalam nestapa anak manusia dan pada waktu yang tersisa, aku selalu berdoa untuk kebaikanmu Ibu. Masih banyak yang belum bisa saya lakukan, banyak yang masih harus saya kerjakan, semoga aku bukan menjadi anak yang durhaka. Melalui dirimulah aku lahir ke dunia, atas jasamulah aku bisa seperti sekarang dan kepadamulah aku punya kewajiban hak, semoga engkau bisa menerimanya. Ridha robbi biridhal walaadi.  Dan semoga Allah berkenan memberi hidayah kepadamu. Itulah harapan terakhirku. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.