News

Kamis, 27 Februari 2020

Memahami untuk Menyelesaikan




Pondok pesantren mahasiswa (kemudian disebut PPM) adalah contoh nyata dari lingkungan yang menerapkan pola kehidupan co-living space (ruang hidup bersama).

Sumber daya yang ada—baik benda perkakas, bahan makanan, atau ruang hidup—digunakan
bersama dan dikelola bersama. Idealnya, setiap orang bertanggung jawab menjaga barang-barang ini karena barang-barang dan aset-aset ini merupakan milik bersama.

Meskipun begitu, bukan berarti kepemilikan pribadi tidak diakui. Ada batas yang memisahkan
antara aset pribadi dan aset bersama. Pembatasan ini dapat berupa label nama, pemisahan tempat penyimpanan, atau kesepakatan antar individu.

Namun demikian, ada masalah serius dari sistem ini di mana seringkali batas antara aset individu dan komunal (aset yang dimiliki bersama) tidak dihormati. Alih kepemilikan secara serampangan sering terjadi dalam bentuk peminjaman tanpa izin dan aset komunal sering kali hanya dirawat oleh sebagian orang saja. Bahkan biasanya aset bersama rusak sampai tidak bisa dipakai lagi.

Keadaan ini kemudian mendorong santri membuat sistem peraturan agar aset dapat terjaga dan siap digunakan kapan saja, utamanya untuk aset komunal (atau biasa disebut barang Sabilillah). Aturan ini diatur dan dijalankan oleh santri sehingga dalam praktiknya ada santri yang dijadikan pengurus untuk bidang tertentu.

Namun ini ternyata tidak menyelesaikan masalah begitu saja karena dalam usaha penciptaan sistem ini ternyata punya beberapa celah kelemahan yang cukup serius.

Cela ini bersumber pada karakteristik dari santri PPM, yaitu tentamg masalah waktu dan moral. Keduanya melahirkan masalah berupa perumusan aturan yang mengabaikan riset, aturan yang berumur pendek, dan aturan yang tidak tetap. Semua kesalahan ini saling berkaitan sehingga solusi satu masalah harus memperhatikan masalah lain juga.

Masalah pertama adalah perumusan aturan yang mengabaikan riset. Kelemahan ini sangat fatal karena menggantikan data dengan asumsi pribadi serta analisa dengan opini subjektif. Akibatnya, kenyataan yang terdapat di lingkungan serta realitas sosial gagal dipahami secara menyeluruh. 

Meskipun PPM pada dasarnya adalah ruang privat, karena setiap santri punya latar belakang dan pola pikir yang relatif seragam, realitas sebenarnya menunjukkan kalau PPM adalah lingkungan yang tumpang tindih antara ruang privat dan ruang publik (ruang publik dicirikan dengan kehadiran individu yang berbeda bahkan saling asing namun berinteraksi secara intens, editor). Adanya variasi latar belakang santri, yang meski masih tergolong serupa, ternyata juga bisa jadi cukup signifikan perbedaannya. Selain itu baik kampus maupun bidang studi mereka juga sangat beragam. Keberagaman ini lalu mempengaruhi pola pikir dan pola interaksi mereka yang juga tidak bisa dipukul rata begitu saja.

Seringkali hal ini menimbulkan masalah seperti kesalahpahaman antara individu santri dalam
memahami individu santri lain. Di tingkat sistem, pemahaman santri akan aturan dan realitas sosial yang terjadi juga berbeda-beda dan ini menghasilkan respon yang berbeda pula dalam menanggapi aturan yang ada.

Berbagai perbedaan ini harus dipahami lewat kegiatan riset jika ingin aturan yang dibuat
berkualitas.

Tanpa riset, maka perbedaan—dan juga kompleksitas lain yang belum disebutkan di sini—akan hilang dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Tidak ada data yang empirik dan sebagaigantinya adalah asumsi dan prasangka akan mendominasi dalam aturan yang dilahirkan—itu pun jika ada aturan yang lahir, jika tidak maka perdebatan yang berlarut-larut akan terjadi dan aturan yang konkret tidak pernah terwujud.

Riset juga perlu karena dinamika yang terjadi di kalangan santri terjadi cukup cepat. Hal ini terkait erat dengan waktu dan moral santri.

Santri akan tinggal di PPM selama dua atau dua setengah tahun, namun ada juga yang lebih lama meski populasi mereka tidak banyak. Pendeknya durasi tinggal santri menjadikan aturan yang dibuat tidak punya waktu untuk dipahami lewat kebiasaan semata, sedangkan aturan ini cukup  banyak dan beragam. Sementara itu dampak dari kegagalan pelaksanaan aturan ini bisa berakibat lumpuhnya kegiatan PPM.

Riset di sini memberikan landasan argumen yang konkret, yang diharapkan dapat dipahami dan dilaksanakan secara praktis. Argumen yang kokoh dapat dicerna dalam waktu yang lebih singkat karena punya alur berpikir yang sistematis. Praktik dari aturan ini juga mudah dikontrol karena parameter keberhasilan yang disusun jelas. Hal ini memudahkan pelaksanaan dari sisi objek (santri yang tidak merumuskan aturan) maupun dari sisi subjek (santri yang merumuskan aturan).

Objek mengetahui secara jelas bagaimana aturan muncul, berjalan, dan selesai. Pengetahuan ini sangat berguna dalam membantu objek menciptakan bangunan peraturan yang diyakininya dan kemudian dia jalankan. Subjek juga tidak kesulitan mengukur keberhasilan dari aturan yang dibuatnya karena batas-batas yang ada jelas. Bahkan jika diperlukan perbaikan, deteksi masalah bisa lebih muda karena aturan yang dibuat bisa dipecah menjadi beberapa argumen.

Interaksi objek dan subjek dengan aturan akan amat dipermudah jika aturan yang ada di tulis dan disimpan secara baik. Penulisan aturan ini penting karena baik subjek maupun objek perlu memiliki suatu pedoman yang jelas (bukan sekadar desas-desus).

Selain itu, menuliskan aturan juga dapat menjamin keberlangsungan suatu aturan. Durasi tinggal santri PPM yang singkat menjadikan aturan yang hanya berdasarkan konsensus (aturan tidak tertulis namun diakui bersama keberadaannya) mudah berubah seiring dengan bergantinya santri yang tinggal di PPM. Dengan adanya aturan yang ditulis ini, maka aturan dan sistem yang berlaku dapat mudah dipelajari dan dipraktekkan oleh santri yang baru tinggal di PPM—juga mudah diwariskan pada pengurus santri yang baru.

Namun semua ini hanya dapat berjalan jika misalnya moral santri dalam menerima dan memahami aturan memang mendukung eksistensi dari aturan ini. Seringkali ditemui aturan yang ada berubah bukan karena memang disepakati berubah lewat mekanisme musyawarah tapi berubah karena sebagian besar santri melakukan penyimpangan-penyimpangan kecil yang lama-kelamaan merubah aturan secara total. Masalah moral ini tidak hanya terjadi pada santri sebagai objek, namun juga terjadi pada santri sebagai subjek. Interaksi objek-subjek seringkali gagal membedakan antara ketegasan dan kekejaman.

Ketegasan adalah upaya menghadirkan hukum (aturan) yang berlaku sementara kekejaman adalah upaya untuk menindas orang lain lewat aturan. Dalam praktik penegakan aturan di PPM, realitas yang terjadi adalah subjek segan untuk menertibkan objek sementara objek merasa subjek kejam karena tidak toleran pada variasi yang ada. Pertemuan keduanya menimbulkan ketidakpastian hukum yang mana mengancam eksistensi aturan yang ada.


***

Upaya untuk memperbaiki keadaan memang perlu diusahakan, namun kendala yang ada perlu juga diperhatikan. Kendala utama tentu kompleksitas masalah ini, di mana setiap masalah punya kaitan dengan masalah lain dan solusi satu untuk satu masalah perlu memperhatikan karakteristik masalah lain.

Dari sisi budaya, keyakinan yang berkembang di lingkungan santri juga perlu diperhatikan dengan baik. Riset adalah pekerjaan yang butuh ketelitian dan ketekunan. Beban pengurus santri pada dasarnya sama dengan santri lain yakni kewajiban menyelesaikan pondok dan kuliah. Memasukkan agenda riset tentu bukan perkara mudah.

Selain masalah beban pekerjaan, budaya belajar yang jadi tulang punggung riset juga perlu
dikembangkan. Persepektif santri terkait belajar masih sebatas usaha memahami langkah kerja
praktis bukan usaha memahami fenomena. Tanpa adanya budaya belajar—dan tentu saja memahami—bisa dibilang riset akan menjadi pekerjaan yang terasa menjemukan dan buang-buang waktu.

Namun jika riset bisa dilakukan, maka kerja sama yang baik antara dewan guru, pengurus, dan
santri dapat terwujud. Dengan riset, pengurus santri dapat memberikan masukan yang berkualitas kepada dewan guru lewat guru yang ditugaskan menjadi wali mereka dalam struktur kepengurusan santri. Dewan guru dapat menggunakan masukan ini dalam bentuk nasihat atau penjabaran materi selama sesi pengajian yang terhubung dan berkaitan dengan realitas di PPM. Harapannya, ilmu yang disampaikan dapat dipahami dengan lebih baik oleh santri.

Masukan ini dapat juga disampaikan dewan guru (atau santri secara langsung) ke pengurus
sehingga dalam sesi nasihat atau kesempatan lain dapat diangkat dan diharapkan dapat pengurus dapat mempengaruhi moral dari santri.

Tentu ada banyak sekali hal yang perlu dipertimbangkan dan diperbaiki juga, dan tulisan ini hanya sumbangsih kecil dalam usaha itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.