News

Minggu, 01 Maret 2020

Kenapa PPM Perlu Menulis?




Blog yang dimiliki oleh PPMKH3 (selanjutnya disebut PPM) adalah salah satu media publikasi yang dimiliki oleh PPM. Sebagaimana media publikasi lain, media ini dikelola oleh santri sendiri. Sebagai media publikasi berbasis tulisan, blog ini memuat berita-berita terkait santri, informasi PPM yang perlu disebarluaskan ke publik, atau berbagai nasihat agama.

Namun tidak seperti media publikasi lain, blog PPM bisa dibilang tidak terlalu aktif.  Media publikasi PPM lain seperti Instagram sering mendapatkan konten baru. Hampir setiap kegiatan besar PPM pasti akan diwakilkan dengan beberapa konten Instagram sehingga feed dari Instagram PPM lebih ramai daripada arsip blog PPM.

Karena kontributor dari blog PPM ini adalah santri sendiri, maka sedikitnya tulisan di blog PPM adalah tanda kalau santri PPM belum giat memublikasikan tulisannya—atau bahkan belum punya kegiatan menulis.

Padahal sebagai santri yang kelak akan menjadi mubaligh yang terjun ke masyarakat, kegiatan menulis dapat membantu santri untuk belajar berpikir secara baik. Seorang mubaligh diharuskan memahami kondisi umat dan kemudian menggunakan pemahaman ini untuk menggerakkan umat menjadi lebih baik, entah itu membuat mereka lebih tertib ibadahnya, lebih berhati-hati pada kemaksiatan, lebih peduli pada sesama, atau kebaikan lain. Semua kegiatan itu memerlukan cara berpikir yang cerdas pada awalnya, lalu aksi nyata selanjutnya. Keduanya perlu ada sehingga kerja aktivisme mubaligh dapat memberikan dampak yang efektif bagi umat tempat mubaligh tersebut bertugas.

Dalam hal meningkatkan kemampuan berpikir, menulis adalah sarana untuk melatih kemampuan merumuskan gagasan abstrak secara sistematis namun tetap dapat dipahami orang lain.

Gagasan yang abstrak sebenarnya berangkat dari pengamatan yang cermat pada lingkungan sekitar. Fenomena yang terjadi coba dicermati untuk kemudian dimasukkan dalam berbagai kategori yang lebih sederhana. Dengan memecah fenomena ini, setiap bagiannya akan lebih mudah di analisa dengan pemahaman yang telah dimiliki dan pada akhirnya fenomena dapat dijelaskan dengan lebih mudah. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan sekitar karena lingkungan pada dasarnya adalah sekumpulan fenomena yang terjadi dalam urutan waktu.

Menuliskan apa yang teramati di lingkungan dapat membuka jalan menuju pemikiran yang mendalam. Dengan menulis, pengalaman yang dirasakan akan difokuskan dan dipahami agar dapat direka ulang. Dengan demikian, pengalaman yang awalnya biasa saja jadi terasa lebih berkesan bahkan lebih rumit. Berbagai sisi yang awalnya tidak terlihat dapat perlahan dilihat bahkan dipahami. Pengalaman jadi lebih kaya dan pemahaman baru dapat bermunculan.

Pada akhirnya pengalaman yang dirasakan—bahkan yang paling sederhana sekalipun—dapat dialami dengan lebih mendalam dan dipahami lebih baik. Baik pikiran maupun hati dapat sama-sama mendapatkan informasi baru yang mana dapat digunakan untuk memahami fenomena lain yang dialami kelak di kemudian hari.

Jika hal ini dapat dilatih terus, maka ketika santri telah menjadi mubaligh, dia akan lebih peka dan lebih baik dalam mengalami dan memahami fenomena yang terjadi di dalam umat. Berbagai peristiwa yang terjadi tidak sekadar lewat begitu saja namun dapat dialami, dipahami, bahkan diterangkan dengan lebih lanjut dan terperinci.

Informasi yang didapatkan ini—meliputi kesan, pemahaman, dan pengalaman—kemudian akan ikut membangun konstruksi konsep santri atas lingkungan serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Proses pembangunan konstruksi ini akan melibatkan proses berpikir selanjutnya yaitu berpikir secara sistematis.

Berpikir secara sistematis identik dengan berpikir secara logis. Sesuatu yang logis artinya sesuatu yang dapat diterima nalar serta memiliki urutan argumen yang runtut. Keduanya berpegang pada pengalaman masa lalu atau peristiwa lain di masa lampau yang mana pengalaman ini juga harus mampu dipahami oleh nalar.

Sebenarnya membangun konstruksi akan lingkungan tidak harus menggunakan pemikiran yang sistematik. Ada kalanya konstruksi pikiran dibangun berdasarkan dogma atau kepercayaan semata. Dogma ini merupakan produk dari keyakinan masyarakat yang telah tertanam begitu kuat dan dialami setiap hari. Tidak ada proses berpikir yang teratur dan sistematis di sini dan semua hal muncul begitu saja tanpa bisa dijelaskan asal-usulnya. Bahkan, tidak ada kritik maupun usaha untuk memahami lingkungan—biasa dibilang, lingkungan ini beku karena tidak ada dinamika di dalamnya.

Di lain pihak, berpikir sistematis berangkat dari individu bukan kelompok. Seseorang yang berfikir secara sistematis akan menciptakan konstruksi pikirannya sendiri yang khas karena bahan baku yang digunakan untuk berpikir juga unik dan berbeda dengan individu lain. Selain itu, produk pikiran yang sistematis dapat dikritisi, diperbaiki, atau diperbaharui dengan lebih mudah karena dapat dipecah menjadi beberapa argumen.

Jika pada proses perumusan gagasan abstrak kegiatan menulis menyediakan bahan dasar berupa kesan, pengalaman, dan pemahaman, maka menulis pada proses berpikir sistematis menyediakan sarana yang nyata untuk membangun gagasan atau ide secara lebih konkret. Alur berpikir yang logis tidak lagi hanya hadir dalam pikiran yang tidak terlihat namun mewujud dalam huruf dan kata. Kesan, pengalaman, dan pemahaman kini dapat dibaca dan dilihat dalam paragraf bukan sekadar diyakini ada di dalam kepala dan hati saja.

Dalam proses menulis ini, tidak jarang ditemui kalau ternyata apa yang telah lama diyakini tidak sekuat yang dirasakan. Ada lubang-lubang yang muncul saat susunan ide dan gagasan mulai ditulis dan pilihan yang tersedia ada dua: memperbaiki atau menyerah.

Dalam konteks santri, menuliskan gagasan secara sistematis membantu santri untuk melatih berpikir secara logis dan rasional ketika berhadapan dengan suatu masalah atau fenomena. Peristiwa tidak langsung ditanggapi begitu saja namun coba disusun menjadi rangkaian argumen sehingga dapat dilihat kaitan dan bangunan dari peristiwa tersebut.

Lebih lanjut, kegiatan ini dapat membantu santri yang telah menjadi mubaligh untuk menyusun program kerja dan tindakan yang diperlukan. Berbagai kerja yang dirumuskan dapat diukur sehingga bisa dikontrol dan dievaluasi lebih lanjut. Bangunan program juga dapat dianalisis dengan lebih baik karena tersusun dari pengalaman nyata yang dipahami dan dialami oleh mubaligh tersebut. Selain itu, bangunan ini juga punya susunan yang jelas karena berdiri di atas sistem yang logis dan rasional. Pada akhirnya, kegiatan yang dihasilkan lebih mungkin diwujudkan dan tidak berlebihan jika diharapkan punya dampak yang bisa dilihat.

Sampai di sini, kegiatan menulis masih berfokus pada aktivitas akal saja. Semua pemaparan di atas telah menunjukkan kalau menulis merupakan latihan yang baik bagi santri untuk menciptakan suatu kerja aktivisme yang konkret. Namun sebenarnya ada hal lain yang dapat dilatih lewat kegiatan menulis, yaitu cita rasa seni.

Seni menulis—atau sastra—punya sifat sebagaimana seni yang lain: proses pembuatannya butuh kreativitas, rasa, dan kefasihan dalam menggunakan media yang ada. Meski biasanya sastra identik dengan penulisan fiksi, namun sastra juga bisa diterapkan pada bentuk tulisan non-fiksi seperti esai. Penerapan sastra pada esai menjadikan esai lebih mudah dipahami dan punya daya emosional sehingga pesan yang dibawa oleh esai bisa lebih baik disampaikan—singkatnya, tulisan jadi enak dibaca.

Perlu latihan untuk membuat esai yang sastrawi ini. Membiasakan diri menulis merupakan langkah yang baik untuk memperhalus tulisan yang dibuat serta membiasakan rasa agar dapat menulis dengan baik. Selain itu, membiasakan diri membaca sebanyak-banyaknya juga dapat memberikan wawasan yang bagus perihal cara membuat tulisan yang menyenangkan saat dibaca. 

Dengan kegiatan menulis yang melibatkan perasaan, serta tulisan juga dibuat dengan proses berpikir yang baik, bisa dibilang menulis merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi santri secara intelektual maupun emosional. Baik akal maupun hati santri dilatih sehingga keduanya bisa berkembang secara bersamaan. Usaha ini penting karena tulisan bisa menjadi media bagi santri agar kelak saat menjadi mubaligh mampu menyampaikan Al-Quran dan Al-Hadis maupun memberikan nasihat agama yang baik juga.

Kedua hal ini—menyampaikan Al-Quran dan Al-Hadis—sebenarnya adalah pekerjaan utama seorang mubaligh. Namun keduanya adalah keahlian yang sangat perlu dipelajari karena tidak bisa begitu saja dikuasai. Banyak aspek yang perlu diperhatikan ketika melakukan keduanya dan sering ditemui seorang mubaligh tidak dapat menguasai berbagai aspek tersebut dengan baik. Meski hanya mencakup beberapa aspek saja (seperti perumusan gagasan yang sistematis serta penyampaian pesan dengan cara yang mudah dimengerti), menulis dapat memberikan sarana belajar kepada santri sehingga membantu santri dalam menguasai keahlian untuk menyampaikan keduanya.

Tidak seperti nasihat atau penyampaian Al-Quran dan Al-Hadis yang memerlukan mimbar dan pendengar, apa yang dibutuhkan ketika menulis hanyalah media tulis dan gagasan. Menulis bisa dibilang nasihat yang sunyi karena tidak ada yang menjadi pendengar selain diri penulis sendiri. Sampai di sini kegiatan menulis dapat menjadi sarana introspeksi bagi santri sehingga bisa dibilang ada nilai moral yang muncul dalam kegiatan menulis. Menulis tidak seperti nasihat yang butuh waktu lama dan kesempatan yang tertata karena menulis dapat dilakukan kapan pun dan di manapun selama itu bisa membuat penulis nyaman. Fleksibilitas kegiatan menulis menjadikan kegiatan ini dapat dilakukan secara lebih intens daripada nasihat—dengan kata lain santri bisa menasihati dirinya kapan saja, di mana saja, dan bagaimana saja.

Hasil tulisan juga dapat dijadikan bahan diskusi di lingkungan PPM. Jika misalnya santri dapat mengangkat tema yang sering terjadi di PPM, bukan tidak mungkin jika masalah yang diangkat akan mendapatkan perhatian lebih sehingga solusi bisa lebih mudah didapatkan. Apabila ini bisa diwujudkan, bukan tidak mungkin PPM dapat menjadi media intelektual yang tidak keluarannya saja yang punya sifat profesional religius, namun keseharian mereka juga diisi dengan kegiatan yang profesional religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.