Pola kehidupan PPM yang berbasis asrama punya karakteristik co-living space (ruang hidup bersama).
Kehidupan dalam PPM adalah kehidupan
bersama bukan bersama-sama hidup.
Perbedaan mendasar keduanya ada pada penggunaan dan pengelolaan sumber daya,
dimana pada kehidupan bersama sumberdaya dikelola dan digunakan bersama
oleh para penghuni sementara pada bersama-bersama
hidup sumberdaya hanya digunakan bersama tapi tidak dikelola bersama.
Keadaan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan meski manfaat juga
bisa diperoleh. Kemandirian dalam mengelola sumberdaya memberikan kebebasan
bagi anggota komunitas (dalam hal ini penghuni PPM) untuk menyesuaikan
kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya sehingga efektivitas dan efisiensi yang
memang berdasarkan kebutuhan komunitas bisa dicapai.
Di sisi lain, manajemen sumberdaya bersama selalu menuntut kompromi.
Tarik menarik antara kepentingan individu yang unik seringkali bertabrakan dengan
kepentingan bersama yang umum sehingga jika tidak ada suatu bentuk common sense maka pola kehidupan
bersama dapat perlahan berubah menjadi bersama-sama hidup.
Dengan keberagaman santri PPM yang cukup tinggi, maka jurang antara
kepentingan individu dan kepentingan bersama sebenarnya punya jarak yang cukup
lebar. Jurang ini bukan semata-mata berbentuk keinginan individu untuk
menguasai sebanyak-banyaknya (egoisme) sehingga meminggirkan eksistensi
komunitas, atau kepentingan bersama yang begitu kuat sehingga ciri khas dari
individu jadi lenyap. Masalah yang lebih mendasar adalah bagaimana kedua kubu—individu
dan komunitas—gagal saling mengakomodasi (memenuhi kebutuhan) sehingga keduanya
merasa yang satu merupakan ancaman bagi yang lain.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap bahwa kepentingan kelompok
selalu lebih baik daripada kepentingan individu. Budaya ini telah tertanam di
dalam diri santri sehingga pemahaman ini adalah arus utama dalam kehidupan di
asrama pondok. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika ada individu dengan
kepentingan yang sangat unik, sulit dipahami, dan diterima alam pikiran
komunitas muncul. Keunikan ini lalu gagal dipahami sehingga akan berujung pada
anggapan bahwa individu tadi menyimpang dan pelekatan label buruk jadi wajar:
egois, individualis, semaunya sendiri, tidak taat aturan, dan lain lain.
Padahal pada zaman modern ini, semangat zaman (Zeitgeist) yang
berkembang adalah individualisme karena modernitas senantiasa bertalian erat
dengan kapitalisme dan industrialisme yang selalu mendorong manusia untuk
menjadi dirinya sendiri berpegang pada dirinya sendiri juga. Hal ini bukan
semata-mata karena adanya degradasi moral, kerusakan jaman, atau dampak dari
buruknya pendidikan. Ini semua adalah konsekuensi logis dari pola kehidupan
modern yang sangat berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia sebagai
individu.
Pola konsumsi kita telah begitu personal dengan adanya benda-benda yang
dapat dipesan atau disesuaikan dengan keinginan diri. Pekerjaan dan pendidikan
juga bisa begitu individual saat semua itu bisa dilakukan dari rumah tanpa
harus berinteraksi dengan orang lain lewat internet—atau punya sistem kompetisi
yang sangat mengagungkan pencapaian pribadi. Belum lagi hiburan dan informasi
yang begitu melimpah sehingga kita bebas memilih apapun yang kita suka tanpa
terpengaruh selera pasar.
Sementara santri PPM hidup di asrama pondok dengan semangat kebersamaan
tinggi sebagai ciri khas masyarakat Indonesia, mereka juga menghidupi cita-cita
modernitas yang individual di kampus dan lingkungan luar pondok. Dua kondisi
yang berbeda ini lalu berinteraksi dan ketika keduanya gagal saling memahami,
maka konflik tidak terhindarkan.
Tidak adanya kesepakatan antara komunitas dan individu akan menjadikan common sense itu sesuatu yang mustahil
terwujud. Common sense sebenarnya
bukan akal sehat namun nilai yang disepakati benar secara umum. Karena nilai
adalah sesuatu yang personal maka individu yang tidak punya ikatan dengan
komunitas akan sulit menerima dan menjalankan nilai-nilai dalam common sense—dan akhirnya hanya menjadi
nilai yang mati di dalam komunitas.
Kematian common sense dalam
komunitas tampak dari niali-nilainya yang selalu didengungkan namun tidak
pernah dilaksanakan. Ibarat berhala yang dipuja, nilai-nilai common sense tidak pernah memberi
manfaat atau bahaya bagi manusia namun selalu dibicarakan bahkan ditakuti.
Keberadaanya sekadar simbol yang menunjukkan seolah komunitas itu ada dan kuat.
Karena common sense tidak
pernah diikuti individu, dan komunitas tidak pula menghidupi nilai-nilainya,
maka common sense tidak pernah ada secara nyata. Padahal, dalam
kehidupan bersama
common sense merupakan tulang punggung yang menghubungkan antara
individu dan komunitas sehingga ketiadaan
common sense ini telah memutus (sekaligus menjauhkan) komunitas dari
individu.
Baik individu maupun komunitas sebenarnya saling membutuhkan dan
tingkatan mereka tidak tetap melainkan cair sesuai dengan keadaan. Ada kalanya
individu perlu mengalah pada komunitas dan ada kalanya komunitas perlu
mendahulukan individu. Dalam konteks sumberdaya, maka kompromi penggunaan
sumberdaya sejatinya selalu cair dan tidak pernah tetap.
Keutuhan komunitas memang perlu dijaga karena dengan komunitas yang
kuat maka pengelolaan sumberdaya dapat berjalan dengan baik. Pembagian tugas
dan distribusi sumberdaya dapat dilakukan dengan lancar sehingga setiap orang
dapat terjamin kebutuhannya. Namun individualisme juga perlu dijaga karena
pengakuan akan eksistensi individu yang subjektif dan sangat personal dapat
membantu individu mencapai kepuasan dan dengan demikian penggunaan sumberdaya
yang ada dapat memberikan manfaat yang nyata.
Perlu ada solusi yang mengikutsertakan komunitas dan individu agar
kedua kubu pada akhirnya dapat didamaikan. Kompromi bukan hanya perlu
dihadirkan dalam aturan namun juga perlu ditanamkan dalam individu. Aturan—sebagai
instrumen komunitas dalam mengendalikan individu—tidak akan memberikan dampak
apapun jika eksistensinya tidak dihormati atau bahkan dianggap ada oleh
individu. Manusia adalah mahluk yang adaptif sehingga penyimpangan dan
eksploitasi komunitas yang sakit dapat diterima dan dinormalisasi. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk adaptasi agar masalah yang ada lebih mudah ditanggung
dan kehidupan "seolah-olah" bisa dijalani.
Namun demikian, masalah tidak akan selesai dengan menganggap bahwa
penyimpangan adalah kewajaran. Masalah yang dibiarkan akan menimbulkan masalah
lain yang kemudian terus menumpuk dan makin memberatkan individu sementara
komunitas menerima stabilitas palsu yang dijaga dalam kemunafikan bersama.
Kesadaran individu tidak bisa diharapkan tumbuh begitu saja namun
sangat perlu diusahakan terus-menerus. Dalam konteks PPM, komunitas sebagai
pemilik sah sumberdaya punya kewajiban memahami eksistensi individu agar
pemenuhan kebutuhan individu dapat terlaksana. Komunitas hendaknya tidak
memakai prasangka—yang tentunya diyakini benar secara umum—saja dalam melihat
individu, namun komunitas perlu juga menghargai aspek unik dan karakter khas
yang dimiliki individu. Pengabaian aspek ini akan menjadikan individu
kehilangan jati diri dan perlahan namun pasti menjauhkan diri dari komunitas.
Namun individu juga harus sadar bahwa kehidupannya selalu dan pasti ada
di dalam komunitas. Individu tidak boleh memakai perspektif dan nilai sendiri
dalam memahami karakteristik dari komunitas. Pemahaman ini dapat menjadikan
individu punya harapan yang tidak masuk akal pada komunitas sehingga tuntutan
mereka juga jadi mustahil diwujudkan. Meskipun begitu, individu tetap boleh
memiliki idealisme. Dengan idealisme maka individu akan terpacu untuk bergerak
dan mencari cara untuk hidup lebih baik.
Semangat memenuhi idealisme ini perlu dibarengi juga pemahaman bahwa
realitas sesungguhnya adalah komunitas. Kesadaran yang jelas antara realitas
dan idealisme akan mengantar individu pada usaha yang masuk akal dan bermanfaat
bagi komunitas dan dirinya sendiri. Jika hal ini dibarengi juga dengan komunitas
yang dapat menerima eksistensi individu, maka kompromi yang sehat bukan tidak
mungkin diwujudkan.
Akan tetapi ada hal yang perlu dihindari komunitas dalam usaha memahami
individu ini. Komunitas hendaknya jangan terlalu permisif dalam melihat aspek
unik yang dimiliki individu sehingga aturan yang ada jadi sangat cair.
Fleksibilitas aturan itu perlu, namun jika sampai penyimpangan individu malah
membuat aturan mudah berubah maka ini akan menghancurkan komunitas itu sendiri.
Bahkan lebih jauh, otoritas akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol individu
dan pada akhirnya individu malah akan mengendalikan otoritas.
Hubungan yang sehat antara individu dan komunitas dalam menghidupi commoon sense demi terwujudnya kehidupan bersama sangat perlu diusahakan
untuk menghadapi berbagai tantangan bersama. Dalam konteks PPM, eksistensi
santri yang lues sebagai anggota komunitas dan individu dapat membantu santri
dalam menjalani kehidupan sehari-harinya (yang mana seringkali cukup berat
dalam satu atau lain hal) serta berkontribusi pada komunitas tempat dia
tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.