News

Selasa, 17 Maret 2020

Sebuah Tinjauan Singkat Tentang Lingkungan PPM




Pola kehidupan PPM yang berbasis asrama punya karakteristik co-living space (ruang hidup bersama). Kehidupan dalam PPM adalah kehidupan bersama bukan bersama-sama hidup. Perbedaan mendasar keduanya ada pada penggunaan dan pengelolaan sumber daya, dimana pada kehidupan bersama  sumberdaya dikelola dan digunakan bersama oleh para penghuni sementara pada bersama-bersama hidup sumberdaya hanya digunakan bersama tapi tidak dikelola bersama.

Keadaan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan meski manfaat juga bisa diperoleh. Kemandirian dalam mengelola sumberdaya memberikan kebebasan bagi anggota komunitas (dalam hal ini penghuni PPM) untuk menyesuaikan kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya sehingga efektivitas dan efisiensi yang memang berdasarkan kebutuhan komunitas bisa dicapai.

Di sisi lain, manajemen sumberdaya bersama selalu menuntut kompromi. Tarik menarik antara kepentingan individu yang unik seringkali bertabrakan dengan kepentingan bersama yang umum sehingga jika tidak ada suatu bentuk common sense maka pola kehidupan bersama dapat perlahan berubah menjadi bersama-sama hidup.

Dengan keberagaman santri PPM yang cukup tinggi, maka jurang antara kepentingan individu dan kepentingan bersama sebenarnya punya jarak yang cukup lebar. Jurang ini bukan semata-mata berbentuk keinginan individu untuk menguasai sebanyak-banyaknya (egoisme) sehingga meminggirkan eksistensi komunitas, atau kepentingan bersama yang begitu kuat sehingga ciri khas dari individu jadi lenyap. Masalah yang lebih mendasar adalah bagaimana kedua kubu—individu dan komunitas—gagal saling mengakomodasi (memenuhi kebutuhan) sehingga keduanya merasa yang satu merupakan ancaman bagi yang lain.

Masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap bahwa kepentingan kelompok selalu lebih baik daripada kepentingan individu. Budaya ini telah tertanam di dalam diri santri sehingga pemahaman ini adalah arus utama dalam kehidupan di asrama pondok. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika ada individu dengan kepentingan yang sangat unik, sulit dipahami, dan diterima alam pikiran komunitas muncul. Keunikan ini lalu gagal dipahami sehingga akan berujung pada anggapan bahwa individu tadi menyimpang dan pelekatan label buruk jadi wajar: egois, individualis, semaunya sendiri, tidak taat aturan, dan lain lain.

Padahal pada zaman modern ini, semangat zaman (Zeitgeist) yang berkembang adalah individualisme karena modernitas senantiasa bertalian erat dengan kapitalisme dan industrialisme yang selalu mendorong manusia untuk menjadi dirinya sendiri berpegang pada dirinya sendiri juga. Hal ini bukan semata-mata karena adanya degradasi moral, kerusakan jaman, atau dampak dari buruknya pendidikan. Ini semua adalah konsekuensi logis dari pola kehidupan modern yang sangat berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia sebagai individu.

Pola konsumsi kita telah begitu personal dengan adanya benda-benda yang dapat dipesan atau disesuaikan dengan keinginan diri. Pekerjaan dan pendidikan juga bisa begitu individual saat semua itu bisa dilakukan dari rumah tanpa harus berinteraksi dengan orang lain lewat internet—atau punya sistem kompetisi yang sangat mengagungkan pencapaian pribadi. Belum lagi hiburan dan informasi yang begitu melimpah sehingga kita bebas memilih apapun yang kita suka tanpa terpengaruh selera pasar.

Sementara santri PPM hidup di asrama pondok dengan semangat kebersamaan tinggi sebagai ciri khas masyarakat Indonesia, mereka juga menghidupi cita-cita modernitas yang individual di kampus dan lingkungan luar pondok. Dua kondisi yang berbeda ini lalu berinteraksi dan ketika keduanya gagal saling memahami, maka konflik tidak terhindarkan.

Tidak adanya kesepakatan antara komunitas dan individu akan menjadikan common sense itu sesuatu yang mustahil terwujud. Common sense sebenarnya bukan akal sehat namun nilai yang disepakati benar secara umum. Karena nilai adalah sesuatu yang personal maka individu yang tidak punya ikatan dengan komunitas akan sulit menerima dan menjalankan nilai-nilai dalam common sense—dan akhirnya hanya menjadi nilai yang mati di dalam komunitas.

Kematian common sense dalam komunitas tampak dari niali-nilainya yang selalu didengungkan namun tidak pernah dilaksanakan. Ibarat berhala yang dipuja, nilai-nilai common sense tidak pernah memberi manfaat atau bahaya bagi manusia namun selalu dibicarakan bahkan ditakuti. Keberadaanya sekadar simbol yang menunjukkan seolah komunitas itu ada dan kuat.  

Karena common sense tidak pernah diikuti individu, dan komunitas tidak pula menghidupi nilai-nilainya, maka common sense  tidak pernah ada secara nyata. Padahal, dalam kehidupan bersama   common sense merupakan tulang punggung yang menghubungkan antara individu dan komunitas sehingga ketiadaan common sense ini telah memutus (sekaligus menjauhkan) komunitas dari individu.  

Baik individu maupun komunitas sebenarnya saling membutuhkan dan tingkatan mereka tidak tetap melainkan cair sesuai dengan keadaan. Ada kalanya individu perlu mengalah pada komunitas dan ada kalanya komunitas perlu mendahulukan individu. Dalam konteks sumberdaya, maka kompromi penggunaan sumberdaya sejatinya selalu cair dan tidak pernah tetap.

Keutuhan komunitas memang perlu dijaga karena dengan komunitas yang kuat maka pengelolaan sumberdaya dapat berjalan dengan baik. Pembagian tugas dan distribusi sumberdaya dapat dilakukan dengan lancar sehingga setiap orang dapat terjamin kebutuhannya. Namun individualisme juga perlu dijaga karena pengakuan akan eksistensi individu yang subjektif dan sangat personal dapat membantu individu mencapai kepuasan dan dengan demikian penggunaan sumberdaya yang ada dapat memberikan manfaat yang nyata.

Perlu ada solusi yang mengikutsertakan komunitas dan individu agar kedua kubu pada akhirnya dapat didamaikan. Kompromi bukan hanya perlu dihadirkan dalam aturan namun juga perlu ditanamkan dalam individu. Aturan—sebagai instrumen komunitas dalam mengendalikan individu—tidak akan memberikan dampak apapun jika eksistensinya tidak dihormati atau bahkan dianggap ada oleh individu. Manusia adalah mahluk yang adaptif sehingga penyimpangan dan eksploitasi komunitas yang sakit dapat diterima dan dinormalisasi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk adaptasi agar masalah yang ada lebih mudah ditanggung dan kehidupan "seolah-olah" bisa dijalani.

Namun demikian, masalah tidak akan selesai dengan menganggap bahwa penyimpangan adalah kewajaran. Masalah yang dibiarkan akan menimbulkan masalah lain yang kemudian terus menumpuk dan makin memberatkan individu sementara komunitas menerima stabilitas palsu yang dijaga dalam kemunafikan bersama.

Kesadaran individu tidak bisa diharapkan tumbuh begitu saja namun sangat perlu diusahakan terus-menerus. Dalam konteks PPM, komunitas sebagai pemilik sah sumberdaya punya kewajiban memahami eksistensi individu agar pemenuhan kebutuhan individu dapat terlaksana. Komunitas hendaknya tidak memakai prasangka—yang tentunya diyakini benar secara umum—saja dalam melihat individu, namun komunitas perlu juga menghargai aspek unik dan karakter khas yang dimiliki individu. Pengabaian aspek ini akan menjadikan individu kehilangan jati diri dan perlahan namun pasti menjauhkan diri dari komunitas.

Namun individu juga harus sadar bahwa kehidupannya selalu dan pasti ada di dalam komunitas. Individu tidak boleh memakai perspektif dan nilai sendiri dalam memahami karakteristik dari komunitas. Pemahaman ini dapat menjadikan individu punya harapan yang tidak masuk akal pada komunitas sehingga tuntutan mereka juga jadi mustahil diwujudkan. Meskipun begitu, individu tetap boleh memiliki idealisme. Dengan idealisme maka individu akan terpacu untuk bergerak dan mencari cara untuk hidup lebih baik.

Semangat memenuhi idealisme ini perlu dibarengi juga pemahaman bahwa realitas sesungguhnya adalah komunitas. Kesadaran yang jelas antara realitas dan idealisme akan mengantar individu pada usaha yang masuk akal dan bermanfaat bagi komunitas dan dirinya sendiri. Jika hal ini dibarengi juga dengan komunitas yang dapat menerima eksistensi individu, maka kompromi yang sehat bukan tidak mungkin diwujudkan.

Akan tetapi ada hal yang perlu dihindari komunitas dalam usaha memahami individu ini. Komunitas hendaknya jangan terlalu permisif dalam melihat aspek unik yang dimiliki individu sehingga aturan yang ada jadi sangat cair. Fleksibilitas aturan itu perlu, namun jika sampai penyimpangan individu malah membuat aturan mudah berubah maka ini akan menghancurkan komunitas itu sendiri. Bahkan lebih jauh, otoritas akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol individu dan pada akhirnya individu malah akan mengendalikan otoritas.

Hubungan yang sehat antara individu dan komunitas dalam menghidupi commoon sense demi terwujudnya kehidupan bersama sangat perlu diusahakan untuk menghadapi berbagai tantangan bersama. Dalam konteks PPM, eksistensi santri yang lues sebagai anggota komunitas dan individu dapat membantu santri dalam menjalani kehidupan sehari-harinya (yang mana seringkali cukup berat dalam satu atau lain hal) serta berkontribusi pada komunitas tempat dia tinggal.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.