News

Sabtu, 07 Maret 2020

PPM Perlu Mambaca




Santri PPM setiap harinya menerima pendidikan dari dua hal yang punya ruang lingkup berbeda namun seringkali bersinggungan: agama dan sains. Keduanya memiliki objek kajian yang sama yakni manusia, namun metode dan argumen yang digunakan keduanya berbeda. Perbedaan ini kadang tumpang tindih dan saling bersinggungan. Selain itu, sumber kedua hal ini berasal dari sesuatu  yang sama sekali lain.

Meskipun begitu, baik sains maupun agama, ajaran dan metodenya sama-sama ada dalam bentuk teks sehingga kemampuan memahami informasi (literasi) adalah suatu keharusan agar dapat mempelajari keduanya.

Kegiatan literasi sendiri adalah kegiatan yang sangat luas. Kegiatan ini meliputi membaca (menerima), memahami, dan mengkritisi Informasi. Ada berbagai macam literasi, namun umumnya santri PPM lebih berfokus pada literasi teks, sains, dan humaniora—yang mana selalu ada agama di dalam semua itu.

Literasi selalu diawali dengan interaksi manusia dengan alam yang mengandung berbagai fenomena. Interaksi terjadi secara terus menerus dan intens sehingga manusia mampu memahami pola dan karakteristik dari fenomena yang terjadi. Informasi akan fenomena ini kemudian di kumpulkan dan disebarkan antar individu, kelompok, bahkan generasi. Informasi ini akan mengendap dan digunakan untuk memahami fenomena lain dan melahirkan informasi baru yang lagi-lagi dikumpulkan dan disebarkan. Seiring dengan semakin luasnya persebaran informasi, penjelasan akan fenomena ikut berkembang dan makin lama informasi makin kaya. Dahulu, kumpulan penjelasan dan informasi ini berkembang menjadi mitos dan legenda yang khas antar wilayah geografis, dan kini informasi ini diformulasikan dalam sains yang lebih universal dan objektif.

Pola diatas selalu berulang pada informasi yang lain: teks secara umum, data kualitatif dan kuantitatif, karya seni, ayat-ayat kitab suci, berbagai ceramah, dll. Kesemuanya diproses dengan urutan yang sama. Produk yang dihasilkan juga relatif serupa, namun karakteristiknya berbeda. Perbedaan tidak terletak pada proses namun pada subjek pelaku literasi.

Subjek literasi—manusia—adalah makhluk yang kompleks. Kompleksitas ini salah satunya dikarenakan manusia adalah makhluk yang tidak hanya dipahami secara biologis tapi juga kognitif dan sosial. Ketika bicara tentang literasi maka kita akan bicara interaksi manusia dan fenomena di sekitar mereka. Interaksi ini tidak semata dipengaruhi oleh kumpulan fakta objektif yang muncul ketika fenomena terjadi, namun juga ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan, dan emosi dari subjek.

Subjek yang sering berinteraksi dengan Informasi cenderung lebih baik dalam melakukan kegiatan literasi. Pengalaman mereka berinteraksi dengan Informasi lebih kaya sehingga mereka lebih terampil dalam mengolah informasi yang didapatkan dan lebih luwes membicarakan informasi yang mereka punya. Namun, variasi informasi juga harus diperhatikan agar interaksi ini dapat memberikan manfaat lebih bagi subjek.

Intensitas yang tinggi tentu sangat baik namun masalah yang timbul kemudian adalah adanya resistansi (penolakan) subjek ketika menerima informasi yang terus menerus. Untuk mengikis penolakan (resistansi) ini, perlu ada media untuk membuat subjek betah berinteraksi dengan Informasi. Salah satunya adalah dengan membaca.

Meskipun membaca adalah kegiatan literasi teks, namun pada dasarnya membaca adalah kegiatan sentral dalam literasi sains dan humaniora (bahkan agama). Membaca adalah sarana untuk mengalami dan memahami apa yang terjadi lewat media yang praktis (dalam hal ini buku atau media tulis lain) tanpa harus hadir secara langsung pada peristiwa yang dibicarakan sehingga tidak diperlukan usaha lebih agar informasi dapat diterima dan dialami.

Saat bicara tentang membaca, maka kita akan terpikirkan dua hal: fiksi dan non-fiksi. Membaca non-fiksi seringkali dianggap lebih baik daripada membaca fiksi. Informasi padat dan tepat guna adalah imajinasi kebanyakan orang tentang hal ini dan informasi yang dimuat bacaan fiksi memang diharapkan informatif. Harapan setelah membaca bahan non-fiksi adalah orang bisa mendapatkan sarana yang baik untuk belajar.

Namun demikian, informasi demikian tidak terlalu baik dalam membawa emosi pembaca. Informasi yang padat ini kaku dan dingin sehingga ada jarak yang cukup lebar antara teks dan pembaca. Jarak yang lebar memperbesar resistansi sehingga informasi sukar ditangkap. Pada akhirnya teks gagal berbicara pada subjek dan subjek gagal memahami apapun.

Namun bacaan fiksi punya sifat yang lain. Fiksi memang tidak padat akan informasi dan terkesan tidak serius karena membicarakan hal-hal yang khayali. Namun justru hal ini yang mampu mendekatkan subjek dengan teks. Imajinasi yang kaya dan penuh intrik tentu sangat menarik bagi manusia karena emosi mereka hadir ketika mereka membaca teks. Kedekatan emosional akan membuat kegiatan membaca itu intim dan berkesan, bahkan subjek dapat menghidupi imajinasi yang dia dapatkan karena kegiatan membaca ini.

Sampai di sini, bisa dikatakan kalau antara fiksi dan non-fiksi sebenarnya bukan dua hal yang berbeda derajatnya. Keduanya punya ranah masing-masing dan punya fungsi yang penting bagi manusia.

Dalam konteks literasi, tentu informasi yang lebih padat bisa didapatkan lewat bahan non-fiksi, namun bahan fiksi dapat menyediakan sarana memupuk hasrat untuk terus berinteraksi dengan Informasi. Lebih jauh, kolaborasi keduanya dapat menumbuhkan budaya literasi yang maju: hasrat akan informasi yang dipasok fiksi dapat diimbangi dengan kekayaan Informasi yang dimiliki non-fiksi. Pada akhirnya, seseorang yang senantiasa berurusan dengan Informasi dan turunannya (ilmu contohnya) perlu untuk dapat memanfaatkan keduanya—contohnya seperti santri PPM.

Ketika masalah ini ditarik pada ruang lingkup santri PPM, literasi yang perlu mereka kembangkan tidak hanya yang berbasis teks saja tapi juga literasi yang berbasis fenomena nyata. Kemampuan ini penting karena setelah lulus menjadi mubaligh, santri dituntut untuk memahami bukan hanya Al-Quran dan Al-Hadis sebagai dasar ilmu agama namun juga dituntut untuk memahami realitas yang ada di sekitarnya. Dalam usaha untuk memahami ini, kolaborasi bacaan fiksi dan non-fiksi sangat diperlukan untuk memperhalus rasa dan menajamkan akal.

Realitas selalu multidimensi. Ketika suatu fenomena terjadi, maka ada berbagai hal yang dapat dijelaskan di situ. Bahan non-fiksi memberikan informasi tentang apa yang terjadi dalam kaca mata analitis lagi teoretis. Hasil dari analisa ini akan menimbulkan berbagai pilihan moral yang mana tidak melulu hitam putih. Di sinilah fiksi berguna untuk menumbuhkan emosi yang stabil dalam memahami fakta agar bisa lebih jernih dalam menyikapi masalah. Fiksi sebagai produk imajinasi (apalagi yang berkualitas) dapat memberikan pengalaman emosional yang beragam dan otentik sehingga rasa yang dimiliki pembacanya akan lebih kaya dan luas. Kekayaan rasa ini akan menjadikan subjek informasi lebih adil dan berimbang dalam memahami informasi—dan jika didukung analisis dan teori yang mapan dari bahan non-fiksi maka informasi yang didapat bisa lebih bermanfaat lagi.

Sebagai seorang mubaligh, tentu manfaat terbesar dari informasi adalah bahan untuk menyusun gerakan atau kerja yang bermanfaat bagi umat dengan dasar Al-Quran dan Al-Hadis. dalam menyusun aksi nyata, akan ada pertemuan antara teori dan praksis sehingga berbagai kesulitan niscaya ditemui. Selalu ada jarak antara teori dan praksis meski keduanya berangkat dari pengamatan dan pengujian fenomena yang sama, sehingga kompleksitas (kerumitan) yang ada tidak jarang bisa membuat frustrasi.

Baik bahan non-fiksi maupun fiksi dapat memberikan sumbangsih dalam upaya menghadapi kesulitan ini. Bahan fiksi dapat memberikan emosi yang kaya dan imajinasi yang luas yang dapat membantu santri dalam menggali kemungkinan solusi, sementara non-fiksi akan membantu untuk memperhalus dan menyempurnakan kemungkinan solusi ini sehingga dapat diterapkan secara praktis.

Pada akhirnya, santri mampu menghubungkan kegiatan literasi dan aktivisme mereka dan mampu menciptakan inovasi yang memberikan dampak nyata bagi umat. Dengan masalah yang kian lama kian kompleks, peran mubaligh (ulama) sebagai rekan umaro' dalam menyelesaikan masalah umat mutlak dibutuhkan. Karena bangunan komunitas umat juga terdiri dari komponen sosial, maka menyelesaikan masalah agama juga perlu melibatkan pertimbangan dari sisi sosial agar solusi yang didapatkan berdampak nyata dan memiliki manfaat yang berkelanjutan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.