Santri PPM setiap harinya menerima pendidikan dari dua hal yang punya
ruang lingkup berbeda namun seringkali bersinggungan: agama dan sains. Keduanya
memiliki objek kajian yang sama yakni manusia, namun metode dan argumen yang
digunakan keduanya berbeda. Perbedaan ini kadang tumpang tindih dan saling
bersinggungan. Selain itu, sumber kedua hal ini berasal dari sesuatu yang sama sekali lain.
Meskipun begitu, baik sains maupun agama, ajaran dan metodenya
sama-sama ada dalam bentuk teks sehingga kemampuan memahami informasi
(literasi) adalah suatu keharusan agar dapat mempelajari keduanya.
Kegiatan literasi sendiri adalah kegiatan yang sangat luas. Kegiatan
ini meliputi membaca (menerima), memahami, dan mengkritisi Informasi. Ada
berbagai macam literasi, namun umumnya santri PPM lebih berfokus pada literasi
teks, sains, dan humaniora—yang mana selalu ada agama di dalam semua itu.
Literasi selalu diawali dengan interaksi manusia dengan alam yang
mengandung berbagai fenomena. Interaksi terjadi secara terus menerus dan intens
sehingga manusia mampu memahami pola dan karakteristik dari fenomena yang
terjadi. Informasi akan fenomena ini kemudian di kumpulkan dan disebarkan antar
individu, kelompok, bahkan generasi. Informasi ini akan mengendap dan digunakan
untuk memahami fenomena lain dan melahirkan informasi baru yang lagi-lagi
dikumpulkan dan disebarkan. Seiring dengan semakin luasnya persebaran
informasi, penjelasan akan fenomena ikut berkembang dan makin lama informasi
makin kaya. Dahulu, kumpulan penjelasan dan informasi ini berkembang menjadi
mitos dan legenda yang khas antar wilayah geografis, dan kini informasi ini
diformulasikan dalam sains yang lebih universal dan objektif.
Pola diatas selalu berulang pada informasi yang lain: teks secara umum,
data kualitatif dan kuantitatif, karya seni, ayat-ayat kitab suci, berbagai
ceramah, dll. Kesemuanya diproses dengan urutan yang sama. Produk yang
dihasilkan juga relatif serupa, namun karakteristiknya berbeda. Perbedaan tidak
terletak pada proses namun pada subjek pelaku literasi.
Subjek literasi—manusia—adalah makhluk yang kompleks. Kompleksitas ini
salah satunya dikarenakan manusia adalah makhluk yang tidak hanya dipahami
secara biologis tapi juga kognitif dan sosial. Ketika bicara tentang literasi
maka kita akan bicara interaksi manusia dan fenomena di sekitar mereka.
Interaksi ini tidak semata dipengaruhi oleh kumpulan fakta objektif yang muncul
ketika fenomena terjadi, namun juga ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan,
dan emosi dari subjek.
Subjek yang sering berinteraksi dengan Informasi cenderung lebih baik
dalam melakukan kegiatan literasi. Pengalaman mereka berinteraksi dengan
Informasi lebih kaya sehingga mereka lebih terampil dalam mengolah informasi
yang didapatkan dan lebih luwes membicarakan informasi yang mereka punya.
Namun, variasi informasi juga harus diperhatikan agar interaksi ini dapat
memberikan manfaat lebih bagi subjek.
Intensitas yang tinggi tentu sangat baik namun masalah yang timbul
kemudian adalah adanya resistansi (penolakan) subjek ketika menerima informasi
yang terus menerus. Untuk mengikis penolakan (resistansi) ini, perlu ada media
untuk membuat subjek betah berinteraksi dengan Informasi. Salah satunya adalah
dengan membaca.
Meskipun membaca adalah kegiatan literasi teks, namun pada dasarnya
membaca adalah kegiatan sentral dalam literasi sains dan humaniora (bahkan
agama). Membaca adalah sarana untuk mengalami dan memahami apa yang terjadi
lewat media yang praktis (dalam hal ini buku atau media tulis lain) tanpa harus
hadir secara langsung pada peristiwa yang dibicarakan sehingga tidak diperlukan
usaha lebih agar informasi dapat diterima dan dialami.
Saat bicara tentang membaca, maka kita akan terpikirkan dua hal: fiksi
dan non-fiksi. Membaca non-fiksi seringkali dianggap lebih baik daripada
membaca fiksi. Informasi padat dan tepat guna adalah imajinasi kebanyakan orang
tentang hal ini dan informasi yang dimuat bacaan fiksi memang diharapkan
informatif. Harapan setelah membaca bahan non-fiksi adalah orang bisa
mendapatkan sarana yang baik untuk belajar.
Namun demikian, informasi demikian tidak terlalu baik dalam membawa
emosi pembaca. Informasi yang padat ini kaku dan dingin sehingga ada jarak yang
cukup lebar antara teks dan pembaca. Jarak yang lebar memperbesar resistansi
sehingga informasi sukar ditangkap. Pada akhirnya teks gagal berbicara pada
subjek dan subjek gagal memahami apapun.
Namun bacaan fiksi punya sifat yang lain. Fiksi memang tidak padat akan
informasi dan terkesan tidak serius karena membicarakan hal-hal yang khayali.
Namun justru hal ini yang mampu mendekatkan subjek dengan teks. Imajinasi yang
kaya dan penuh intrik tentu sangat menarik bagi manusia karena emosi mereka
hadir ketika mereka membaca teks. Kedekatan emosional akan membuat kegiatan
membaca itu intim dan berkesan, bahkan subjek dapat menghidupi imajinasi yang
dia dapatkan karena kegiatan membaca ini.
Sampai di sini, bisa dikatakan kalau antara fiksi dan non-fiksi
sebenarnya bukan dua hal yang berbeda derajatnya. Keduanya punya ranah
masing-masing dan punya fungsi yang penting bagi manusia.
Dalam konteks literasi, tentu informasi yang lebih padat bisa
didapatkan lewat bahan non-fiksi, namun bahan fiksi dapat menyediakan sarana
memupuk hasrat untuk terus berinteraksi dengan Informasi. Lebih jauh,
kolaborasi keduanya dapat menumbuhkan budaya literasi yang maju: hasrat akan
informasi yang dipasok fiksi dapat diimbangi dengan kekayaan Informasi yang dimiliki
non-fiksi. Pada akhirnya, seseorang yang senantiasa berurusan dengan Informasi
dan turunannya (ilmu contohnya) perlu untuk dapat memanfaatkan keduanya—contohnya
seperti santri PPM.
Ketika masalah ini ditarik pada ruang lingkup santri PPM, literasi yang
perlu mereka kembangkan tidak hanya yang berbasis teks saja tapi juga literasi
yang berbasis fenomena nyata. Kemampuan ini penting karena setelah lulus
menjadi mubaligh, santri dituntut untuk memahami bukan hanya Al-Quran dan
Al-Hadis sebagai dasar ilmu agama namun juga dituntut untuk memahami realitas
yang ada di sekitarnya. Dalam usaha untuk memahami ini, kolaborasi bacaan fiksi
dan non-fiksi sangat diperlukan untuk memperhalus rasa dan menajamkan akal.
Realitas selalu multidimensi. Ketika suatu fenomena terjadi, maka ada
berbagai hal yang dapat dijelaskan di situ. Bahan non-fiksi memberikan
informasi tentang apa yang terjadi dalam kaca mata analitis lagi teoretis.
Hasil dari analisa ini akan menimbulkan berbagai pilihan moral yang mana tidak
melulu hitam putih. Di sinilah fiksi berguna untuk menumbuhkan emosi yang
stabil dalam memahami fakta agar bisa lebih jernih dalam menyikapi masalah.
Fiksi sebagai produk imajinasi (apalagi yang berkualitas) dapat memberikan
pengalaman emosional yang beragam dan otentik sehingga rasa yang dimiliki
pembacanya akan lebih kaya dan luas. Kekayaan rasa ini akan menjadikan subjek
informasi lebih adil dan berimbang dalam memahami informasi—dan jika didukung
analisis dan teori yang mapan dari bahan non-fiksi maka informasi yang didapat
bisa lebih bermanfaat lagi.
Sebagai seorang mubaligh, tentu manfaat terbesar dari informasi adalah
bahan untuk menyusun gerakan atau kerja yang bermanfaat bagi umat dengan dasar
Al-Quran dan Al-Hadis. dalam menyusun aksi nyata, akan ada pertemuan antara
teori dan praksis sehingga berbagai kesulitan niscaya ditemui. Selalu ada jarak
antara teori dan praksis meski keduanya berangkat dari pengamatan dan pengujian
fenomena yang sama, sehingga kompleksitas (kerumitan) yang ada tidak jarang
bisa membuat frustrasi.
Baik bahan non-fiksi maupun fiksi dapat memberikan sumbangsih dalam
upaya menghadapi kesulitan ini. Bahan fiksi dapat memberikan emosi yang kaya
dan imajinasi yang luas yang dapat membantu santri dalam menggali kemungkinan
solusi, sementara non-fiksi akan membantu untuk memperhalus dan menyempurnakan
kemungkinan solusi ini sehingga dapat diterapkan secara praktis.
Pada akhirnya, santri mampu menghubungkan kegiatan literasi dan
aktivisme mereka dan mampu menciptakan inovasi yang memberikan dampak nyata
bagi umat. Dengan masalah yang kian lama kian kompleks, peran mubaligh (ulama)
sebagai rekan umaro' dalam menyelesaikan masalah umat mutlak dibutuhkan. Karena
bangunan komunitas umat juga terdiri dari komponen sosial, maka menyelesaikan
masalah agama juga perlu melibatkan pertimbangan dari sisi sosial agar solusi
yang didapatkan berdampak nyata dan memiliki manfaat yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah sebijak mungkin.
Komentar tidak pantas akan di hapus oleh admin.